Belalang dan Sahabat Istimewa
Hari-hari berlalu. Belalang tetap berdiam di sela daun ilalang, menolak makan dan minum. Tubuhnya semakin kurus, matanya sayu, sayapnya rapuh. Ia yakin dengan bertapa seperti kepompong, suatu saat akan berubah menjadi kupu-kupu jelita.
Teman-teman kecilnya mulai gelisah. Jangkrik yang biasanya suka bernyanyi, kini hanya menatap prihatin. Cacing menyembul dari tanah, wajahnya penuh cemas. Lipan berjalan tergesa, sementara burung kecil hinggap di dahan, memperhatikan dengan rasa iba.
"Apa yang terjadi pada Belalang?" tanya Cacing.
"Entahlah. Ia hanya diam, tidak mau bicara," jawab Jangkrik.
Mereka pun berunding. Keesokan paginya, semua berkumpul di sekitar ilalang tempat Belalang bertapa. Mereka berniat menghibur, agar sahabat mereka itu mau membuka hati.
"Belalang, jangan terus diam. Jika ada masalah, ceritakanlah!" seru Jangkrik dengan suara lantang.
"Ya, Belalang. Kami semua peduli padamu," tambah Lipan.
"Kalau kau bersedih, biarlah kita berbagi. Kalau kau bingung, biarlah kita pikirkan bersama," sambung Burung kecil.
Belalang awalnya tak bergeming. Namun, melihat sahabat-sahabatnya menatap penuh kasih, hatinya luluh. Air mata menetes.Â
Dengan suara parau ia berkata,
"Aku berpuasa ... aku ingin menjadi kupu-kupu. Ingin punya sayap indah sepertinya."
Teman-temannya saling pandang, lalu serentak bersuara.
"Wah, Belalang! Itu permintaan yang tidak wajar," kata Cacing.
"Allah menciptakanmu sebagai belalang, harusnya kau bersyukur," ujar Jangkrik.
"Lagipula, bukankah kau juara lompat jauh di padang rumput ini? Tanpa kakimu yang panjang dan kuat, siapa bisa mengalahkanmu?" sambung Lipan.
Belalang terperanjat. Ia baru sadar, selama ini ia memang terkenal sebagai pelompat terhebat. Kalau ia berubah menjadi kupu-kupu, kelebihannya itu justru hilang.
Burung kecil pun ikut menimbrung, suaranya lembut seperti sedang bersenandung,
"Pok ame-ame, belalang kupu-kupu,
Siang makan nasi, kalau malam mimik cucu..."
Teman-teman yang lain tertawa kecil, suasana pun mencair. Burung kecil melanjutkan,
"Lihatlah, bahkan lagu anak-anak menyebutmu sejajar dengan kupu-kupu. Itu artinya kamu juga istimewa. Tidak perlu berubah jadi siapa pun, cukup jadi dirimu sendiri."
Belalang terdiam lama, lalu perlahan tersenyum. "Benarkah? Jadi... aku tidak jelek?"
"Tentu saja tidak!" jawab Jangkrik mantap.
"Sayapmu mungkin sederhana, tapi lompatmu luar biasa. Kau punya kelebihan yang tak dimiliki kupu-kupu," kata Lipan.
"Dan kau punya sahabat-sahabat yang menyayangimu apa adanya," tambah Cacing.
Mendengar itu, hati Belalang hangat. Rasa minder yang menghimpit dadanya perlahan sirna. Ia melompat sekali---tinggi, cepat, kuat. Teman-temannya bersorak gembira.
"Itulah Belalang yang kita kenal!"
Sejak saat itu, Belalang tidak lagi bertapa. Ia kembali riang bermain bersama. Ia sadar, keindahan bukan hanya soal rupa, melainkan juga soal hati dan kemampuan yang diberikan Tuhan.
Dan setiap kali mendengar anak-anak menyanyikan, "pok ame-ame belalang kupu-kupu...", Belalang hanya tersenyum. Ia tahu dirinya berharga, bukan karena menjadi kupu-kupu, melainkan karena menjadi Belalang yang sesungguhnya.
"Nah, jadi ... Kawan-kawan," kata Murai yang kebetulan lewat di sekitar dan mendengar obrolan para kawan-kawan satwa, "mari kita syukuri apa pun yang diberikan oleh Tuhan. Kita yakini bahwa semua kita istimewa!" sambil berkicau riang.
"Betuuul!" sambut para sahabat satwa kompak seakan koor yang dikordinasi.
"Oh, jadi kalau Belalang ingin mennjadi Kupu-kupu, apakah itu salah, Murai?" tanya Bekicot yang lewat lambat-lambat.
"Ya, tadi kan dikatakan tidak wajar! Permintaan yang terlalu berlebihan sih menurut aku!" jawab Lipan sambil mengelus dagunya.
"Kalau bagiku ... itu bukan wujud syukur, sih!" sambung Jangkrik. "Sama kayak aku yang pingin hidup di dalam air, kan? Bukannya menyaingi hewan air, tapi malah ... menyedihkan!" lanjutnya.
"Menyedihkan? Kok bisa begitu?" tanya Bekicot dengan keponya.
"Menyedihkan! Karena tidak bisa mensyukuri karunia-Nya yang selama ini dianugerahkan kepada kita! Itu suatu permintaan yang menunjukkan kekecewaan!" kata Jangkrik sambil mempermainkan antenanya.
"Oooo ... begitu!" jawab Bekicot.
"Kamu paham, tidak?" tanya Jangkrik.
"Ya, aku sekarang paham, Kawan. Berarti, rasa syukur itu tidak hanya dengan ucapan terima kasih, tapi dengan rasa bahagia menjadi ciptaan sesuai kehendak-Nya. Begitu, kan?"
"Pinter! Juga ... saling menghargai dan menghormati sesama makhluk, itu pun wujud syukur!" lanjut Jangkrik.
"Ya, ya, ya ... aku paham. Menghina, menindas, dan menjahati sesama makhluk, itu jelas-jelas bukan rasa syukur. Begitu, kan?"
"Kawan-kawan ... kalian dengar apa yang dikatakan Bekicot, kan?" teriak Jangkrik lantang.
"Iyaaa," sambut beberapa hewan.
"Jadi, kita harus bagaimana?" tanyanya kemudian.
"Bersyukur!" jawab mereka serempak.
"Lalu?" lanjut Jangkrik lagi.
"Tidak menindas!" jawab Lipan.
"Saling menolong!" jawab Cacing.
"Bagussss ... yuk kita bersama-sama berjanji untuk menjadi hewan yang istimewa!" ajak Jangkrik sambil menari-nari.
"Kami berjanji!" jawab sahabat satwa dengan bahagia.
***Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI