Kupu-kupu menoleh, heran melihat belalang yang tiba-tiba murung. "Ada apa? Mengapa kau diam melamun?"
Belalang gelagapan. "A... aku... tidak apa-apa."
"Kalau ada masalah, ceritakanlah. Siapa tahu aku bisa membantu," bujuk kupu-kupu.
Akhirnya belalang menghela napas panjang. "Aku malu dengan diriku sendiri. Lihatlah, sayapku jelek, warnaku kusam, dan aku tidak bisa terbang indah sepertimu. Kaki belakangku panjang, berduri, dan hanya bisa kugunakan untuk melompat. Sungguh tidak menguntungkan."
Kupu-kupu terdiam sejenak, lalu tersenyum penuh pengertian. "Tahukah kau, dulu aku juga merasa jelek? Saat masih ulat, semua takut padaku. Tubuhku gemuk, berbulu, bahkan menjijikkan. Tidak ada yang mau dekat-dekat. Lalu aku berubah jadi kepompong, makin tidak menarik. Aku hanya bisa bergantung, berguling, tanpa daya. Kalau ketahuan manusia, mungkin aku sudah dimakan."
Belalang mendengarkan dengan mata membesar. Ia tak menyangka sahabat yang begitu cantik dulunya begitu menyedihkan.
"Tapi aku tidak menyerah," lanjut kupu-kupu lirih. "Aku berdoa siang malam, berharap Allah memberiku bentuk yang lebih baik. Dan lihatlah, akhirnya aku seperti ini sekarang. Namun ingat, semua itu karena kehendak-Nya. Aku hanya berusaha bersabar."
Mata belalang berbinar. "Jadi kalau aku berdoa juga, aku bisa berubah seperti dirimu?"
"Segala sesuatu hanya Allah yang tahu, sahabatku," jawab kupu-kupu. "Tugas kita hanyalah bersyukur, bersabar, dan menjalani peran masing-masing. Hasilnya, serahkan saja pada-Nya."
Belalang terdiam. Hatinya bergolak. Di satu sisi ia minder, di sisi lain muncul secercah harapan. Kupu-kupu pamit hendak mencari madu, sementara belalang termenung sendirian.
"Kalau begitu, aku juga akan mencoba," tekadnya. "Aku akan bertapa. Aku akan berpuasa seperti kepompong. Siapa tahu aku bisa berubah menjadi indah."