Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - suka nulis dan ngedit tulisan

mencoba mengekspresikan diri lewat tulisan receh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kuntum Kembang Kamboja

29 Maret 2024   22:36 Diperbarui: 30 Maret 2024   04:36 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kuntum
Kembang Kamboja

Ninik Sirtufi Rahayu

"Never regret a day in your life; good days give happiness, bad days give experiences, worst day give lessons,

and best day give memories."

Sepulang dari ziarah pada salah seorang teman yang dipanggil-Nya, aku dan dia kehujanan. Maklum bulan Desember yang kata orang Jawa sebagai keratabasa (istilah bahasa Jawa) sejenis akronim, yakni gede-gedene sumber. Artinya, sumber air tercurah dari lazuardi sedang besar. Apalagi, kami berdua tidak sedia payung sebelum hujan. Jadi, ya harus berteduh di sebuah kedai kosong dekat dengan area itu, masih beberapa langkah saja dari area makam.

Tetiba, sambil menadahkan tangan di tepi tiris kedai, dia bertanya, "Dik, di kuburan kayak gini, apa yang kauingat?"


"Emmh ... masa kecil bersama kawan-kawan, aku sering mengambil guguran kembang kamboja yang berkelopak genap, empat atau enam. Biasanya setiap kuntum 'kan punya lima mahkota, nah kalau dapat yang genap, rezeki banget!" seruku sambil menerawang.

"Trus apa lagi?" selidiknya.

"Pernah di sebuah lubang berair kami menemukan cumplung. Kelapa kering yang biasanya digunakan sebagai mainan dengan didorong menggunakan galah, tetapi ...."

"Tetapi apa?" penasaran juga dia.

"Ternyata ... yang kami kira cumplung itu ...."

"Kenapa?" matanya terbeliak.

"Berambut!" jawabku pendek.

"Haduh? Jadi ...?"

"Kami bertujuh anak-anak lelaki dan perempuan langsung berhamburan menjerit-jerit. Sejak saat itu rasanya takut ke makam!" lanjutku dengan netra menerawang.

"Lalu apa yang kalian lakukan?"

"Bilang orang tua dan mereka malah melarang kami main di kuburan!"

"Haduh ... jadi kira-kira itu ...?"

"Kepala manusia! Lalu Pak Jogoboyo dan Pak Bayan mencari dan menguburkannya sebagaimana mestinya! 'Kan saat itu zaman pembantaian pengikut palu arit, Mas!"

"Wih, ngeri juga ya pengalamanmu di kuburan!"

"Iya ... makanya jadi trauma. Aku nggak pernah ikut ziarah kubur!"

"Kok, ini kamu mau ikut?"

"Kalau pemakaman bareng-bareng banyak orang sih, 'kan ada teman. Jadi, bisa menetralisasi pikiran, Mas! Apalagi, yang wafat teman dekat sejurusan. Wafat mendadak karena diduga keracunan makanan. Gimana, sih?" sambil kutatap manik netranya.

"Oh, iya ... ya!"

"Kalau aku sangat terkesan dengan kuburan couple, Dik!"

"Maksudnya?"

"Ya, kita dimakamkan di satu area berdampingan, begitu. Bisa, nggak, ya?"

"Haduuhhh, Mas! Jangan ngigau, deh!" sergahku.

"Kenapa? Punya keinginan 'kan sah-sah saja!"

"Kita ini masih baru pacaran, baru saja jadian, masak sudah minta dikuburkan berdampingan, sih! Ya, jelas aku nggak mau dong!"

"Ya, namanya keinginan, Dik!"

"Ya, tetapi keinginan itu mbok yo yang baik-baik saja, loh. Lah, ini malah ingin berkubur berdampingan. Siapa yang nggak ngeri, coba! Bulan kemarin aja aku ulang tahun didoakan panjang umur, 'kan? Ya, aku mohon diberi panjang usia, dong, ah. Kamu gimana, sih, Mas!" protesku.

"Ya, udah. Aku minta maaf, jangan dipikir lagi! Intinya, aku tak mau kehilangan kamu, sih!" katanya sambil beranjak dari dingklik, kursi kayu panjang yang kami duduki.

Ternyata dia mengambil beberapa guguran mahkota kamboja. Dengan kepala basah terkena titik hujan, diserahkanlah bunga itu padaku.

"Coba, lihat! Barangkali ada yang genap. Kalau tak ada berarti bukan rezekiku!" sambil mengangsurkan beberapa kuntum kembang kamboja itu di kedua telapak tanganku.

"Oh, ... buat apa, Mas?"

"Buat ... begini!" jawabnya sambil memasangkan sekuntum terjepit di ketiak daun telingaku.

"Kamu kayak gadis Bali. Cocok banget dengan pseudonim-mu Ni Ayu, Dik. Kan mirip nama gadis Bali. Hehehe ... jegeg banget, Dik!" selorohnya sambil menata kuntum itu dibelainya rambut tergeraiku.

"Hehehe Ni Luh Sukreni, ya? Tokoh utama novel kesukaanmu, karya I Gusti Nyoman Panji Tisna, 'kan?"

"Iya, iya bener banget. Ingatanmu bagus banget. Kuakui aku tidak secerdas dirimu!" katanya merendah.

"Ngomong-omong, aku ingin ke Bali, loh Mas. Naik bus malam!"

"Oke, sepakat. Nanti aku ikut, ya!"

Tetiba ada saja tingkah anehnya yang lain. Dia menyanyikan penggalan lagu lawas, ... "Menanti di bawah pohon kamboja ... datangnya kekasih yang kucinta ...."

Suara merdunya sungguh indah, tetapi ... lanjutnya ....

"Kalau enggak mau dikubur berdampingan, ya sudah. Kelak ... kalau aku dipanggil duluan, kamu kunanti di bawah pohon kamboja, ya!"

"Haduuhhhh! Ini apa lagi, sih, Mas. Kamu kian ngelantur, deh! Kita pulang saja meski menerobos hujan!"

"Maaf ... Dik. Maafkan aku. Soalnya melihat pohon kamboja, jadi teringat lagu itu. Maaf!" sambil mengatupkan kedua telapak tangan di dada.

"Lagian, kalau wafat duluan, ngapain harus menghantuiku, Mas! Malah mau menungguiku di kuburan segala, loh! Iiiihh!" protesku sambil memukuli lengannya.

"Hehehe ... bercanda, Dik!" sahutnya melucu.

"Nggak lucu!"

Akhirnya, aku benar-benar bisa ke Bali seperti keinginan. Berangkat sendiri dan ternyata dia menyusulku hingga kami pulang bersama. Di bus malam itulah, dia menorehkan kenangan yang tak pernah kulupa. Ya, kala bus di mode mati lampu, tetiba dia menciumku untuk yang pertama kalinya. Hmm, nakal juga ternyata. Kukira dia yang begitu calm dan charm itu tidak berani neko-neko. Ah, hatiku makin melekat padanya saja. Hahaha ... dasar anak desa yang baru mengenal cinta! Bucin banget, kan?

Hingga beberapa bulan setelahnya ....

"Kamu pacaran? Dengan anak nggak jelas itu? Kamu kira kami nggak tahu siapa dia? Ada yang memberitahu kami silsilah keluarganya, Le!"

'Le' biasa digunakan oleh suku Jawa, sapaan sayang sang bunda buat anak kedua, tetapi lelaki pertamanya itu. Untuk gadis biasa dipanggil dengan istilah 'Nduk' semacam Nak dalam bahasa Indonesia.

"Lagi pula, menikah itu harus melihat bibit, bebed, dan bobot si calon lebih dulu! Bibit itu silsilah keluarganya. Dari keluarga baik-baik atau berantakan. Bebed itu semacam innerbeauty, skill, dan kebisaan yang dimilikinya, lalu bobot itu kualitas dan kondisi keluarganya. Apakah dari segi harta mapan? Pendidikan pun memadai? Nah, begitu-begitu. Enggak grusa-grusu, waton ayu saja! Bukan hanya berdasar paras elok saja!" tegas sang ibunda.

"Kami saling mencintai, Bu!" kilahnya.

"Apa? Cinta katamu? Apakah berumah tangga hanya berdasar dan bermodal cinta? Nonsense!" gertak sang bunda.

Kalimat menohok itu terpaksa kudengar ketika aku diajaknya singgah ke rumah orang tuanya sebelum mengantarku pulang ke desa. Ya, kami berkuliah di Malang. Sama-sama berasal dari Tulungagung, sekitar seribu kilometer dari kota tempat menempa diri di bangku kuliah. Kalau dia tinggal di kota, tempat tinggalku masih sekitar tujuh kilometer masuk ke pelosok barat lagi.

Setelah turun dari kereta, dia ajak aku berbecak menuju rumahnya. Hatiku sudah merasa tak nyaman, tetapi dia ngotot hingga aku tak berani membantah. Apalagi dikatakan nanti akan diantarnya aku ke desa bersepeda motor. Kebetulan ayahnya memperoleh fasilitas sepeda motor plat merah. Kalau sore sepulang sang ayah, sepeda motor bisa digunakan mengantarku.

Ternyata kalimat-kalimat menghunjam jantung itulah yang menyambutku. Aura sinis dengan bibir mencemooh kuperoleh sejak menjejak di depan teras itu. Ya, sang ibunda langsung ngibrit dengan auto cuek ke ruang belakang. Tanpa menghiraukanku, bahkan telapak tanganku hendak bersalam pun ditepisnya.

"Kalau kamu pacaran, pasti uangmu habis untuk ini itu. demikian pula kalau menikah muda dengannya. Tidak! Aku tidak setuju! Kamu harus bekerja dulu dan membantu kami membiayai pendidikan lima adikmu!" urai sang ibu sengaja diperbesar volume agar aku mendengarnya.

Jelas tak ada restu dan rida dari sang ibu. Apakah aku siap melanjutkan dengan risiko tidak disukai mertua? Hmmm, harus kupikir ulang seribu kali lagi. Cinta tidak bisa menjadi modal untuk berumah tangga. Buktinya, nenek moyang zaman dulu menikah dijodohkan pun bisa. Jadi, cinta datang belakangan. Witing tresna jalaran saka kulina.

Singkat cerita, kami memang tak berjodoh. Mau tak mau aku harus melupakan dia. Melupakan cinta tulusku padanya. Adapun sosok penggantinya adalah orang yang sama sekali tidak kukenal. Usia kami terpaut lima belas tahun pula.

Saat berkuliah inilah aku mengenal cinta, ya cinta tulus yang tidak berjalan mulus. Kedua orang tua pacar tidak merestui hubungan kami, hanya karena masalah bibit, bebed, dan bobot. Aku yang terlahir sebagai 'anak haram' karena ayah bundaku tidak terikat pernikahan, membuatku sebagai gadis broken home. Beruntung tidak broken heart pula oleh penolakan camer, calon mertua. Aku hadapi dengan pasrah diri saja. Kalau Tuhan menciptakanku, pasti memberiku jodoh sepadan.

Ketika semester lima, mata kuliahku sudah habis sehingga semester enam tinggal persiapan menulis skripsi. Namun, ada seseorang yang mengajakku menikah dengan cara ajaib. Ya, sangat ajaib karena aku tidak mengenal sebelumnya.

Akhir semester itu aku selesai melaksanakan PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) di Kepanjen. Harus naik bus dan angkot. Namun, aku lupa tidak memiliki dana cukup. Paginya, aku harus membayar uang makan si dia di warung langganan sehingga uangku untuk ongkos bus pulang ke Malang tidak mencukupi. Oleh guru pamong aku dititipkan guru yang bersepeda motor ke Malang. Nah, tepat sesampai di depan indekos, dia melihat aku dibonceng seorang lelaki. Padahal, beliau guru SMP Kepanjen yang berkenan memboncengku hingga sampai indekos. Beliau mengizinkanku menumpang atas desakan guru pamong.

Dikatailah aku olehnya demikian, "Dasar wanita bensin!"

Karena emosi kukatakan dengan lantang, "Siapa pun lelaki yang melamarku membawa sepeda motor inreyen (baru) aku mau menjadi istrinya!"

Ternyata, di ruang tamu indekosku ada seseorang yang mendengar dan katanya sudah lama menaksir diriku. Hal itu selalu diungkapkan dalam doanya untuk memintaku dari tangan Tuhan.

Minggu berikutnya aku libur semester dan pulang ke desa. Saat itulah, tamu tersebut datang mencariku ke desa dengan membawa sepeda motor baru demi melamarku! Nah, menikahlah kami secara mendadak karena sayembara yang kukatakan sendiri. Jadi, bukan MBA, merried by accident, ya!

Puluhan tahun setelahnya, di bulan Desember yang sama. Sedang berada di pemakaman Kristen terbesar di kotaku seperti saat ini, mengingatkan pada beberapa peristiwa penting yang cukup mengharu biru.

Namanya saja pemakaman, aura hening dan lengang pasti mewarnainya. Belum lagi dengan pajangan bunga kamboja ciri khas pemakaman itu. Begitu menggelitik memori dan tersimpan rapi di telung sanubari. Mau tak mau, terkuaklah pula nostalgia walau tersimpan cukup lama.

Lahir, jodoh, dan mati adalah misteri ilahi yang tak dapat diprediksi. Yang sakit beberapa lama masih diberi umur, sementara yang sehat, segar bugar bisa saja tiba-tiba diambil-Nya. Benar-benar otoritas Allah sang pemberi dan pemilik hidup dan kehidupan. Apa pun masalah dan bagaimana pun caranya, benar-benar di luar wewenang makhluk ciptaan-Nya.

Melihat beberapa pohon kamboja, benar-benar menghipnotis dan mengingatkanku. Secara audible, kudengar suara merdu penggal lagu, "Menanti di bawah pohon kamboja .... Datangnya kekasih yang kucinta ...."

Refleks aku melangkah hendak mengambil guguran mahkota bunga kamboja. Hujan deras semalam menyisakan becek di area makam. Terpelesetlah aku di antara rerumputan dan terhenti tepat di depan sebuah makam. Tak berkedip kulihat nama pada nisan yang sudah diubah menjadi cukup besar di bawah tanda salib.

"Oh, my God!" aku terpekik.

Nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya terpampang di sana. Hari ketika wafat dan dimakamkan, aku tak bisa mengiringinya karena bertepatan dengan musim Covid-19 silam. Rasa kehilangan yang amat dalam mengiris-iris hati tipis ini. Derai hujan yang belum terhenti pun diikuti oleh deras lelehan tirta netraku.

Kalau saja tidak ikut ke pamakaman kali ini dan tidak ingin mengambil kuntum kembang kamboja, pasti aku tak pernah melihat di mana dia dimakamkan. Lalu, kok bisa-bisanya aku melihat kiri kanan makam yang penuh sesak itu dan memori liarku mengingat akan keinginannya untuk dimakamkan secara couple!

"Ah, semoga kau berbahagia di sana, Mas! Keinginan boleh dan sah-sah saja, tetapi semua terserah yang di atas. Iya, kan?" bisikku meninggalkan area makam.

"Aku memang telah kehilangan. Kehilangan cinta sejak kita berpisah, tetapi tidak pernah kehilangan kenangan tentangmu. Selamat tidur nyenyak di keabadian!" lanjutku melangkah menjauhi area pusara.

Note

Keratabasa                                              : istilah ketatabahasaan, sejenis akronim

gede-gedene sumber                       : besar-besarnya debit hujan

cumplung                                               : kelapa kering, tengkorak, batok kepala

mbok yo                                                   : baiklah, sebaiknya

dingklik                                                    : kursi kayu panjang

jegeg                                                          : cantik, bahasa Bali

grusa-grusu, waton ayu                   : terburu-buru asal cantik saja

ngibrit                                                        : meninggalkan tempat dengan cepat

Witing tresna jalaran saka kulina : cinta akan datang seiring pembiasaan dan waktu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun