Praktik oligopoli atau monopoli yang merugikan rakyat akan diberantas secara tegas. Negara tidak hanya fokus pada penjualan beras melalui mekanisme pasar, melainkan memastikan jalur distribusi bersih dari praktik haram yang menzalimi rakyat.
Bagi masyarakat miskin, negara dalam Khilafah tidak segan memberikan bantuan beras gratis. Anggaran untuk itu selalu tersedia melalui Baitul mal, yang bersumber dari harta zakat, fai', ghanimah, jizyah, dan kharaj. Dengan begitu, jaminan pangan benar-benar hadir sebagai hak rakyat, bukan sekadar program politik yang bergantung pada ketersediaan APBN.
Swasembada Nyata, Bukan Sekadar PHP
Dengan mekanisme seperti ini, swasembada beras bukan lagi sekadar angka dalam laporan pemerintah atau janji politik menjelang pemilu. Swasembada akan nyata dirasakan rakyat melalui harga yang stabil, distribusi yang lancar, dan jaminan pangan yang benar-benar menyentuh masyarakat miskin.
Sayangnya, selama tata kelola pangan di Indonesia masih berada dalam kerangka kapitalisme, mimpi swasembada hanya akan menjadi semacam PHP---Pemberi Harapan Palsu. Rakyat terus dibebani harga tinggi, sementara pemerintah sibuk memamerkan data surplus yang tidak ada artinya di meja makan masyarakat.
Khatimah
Kisah beras SPHP dan klaim swasembada ini memberi pelajaran penting. Bahwa solusi tambal sulam tidak akan pernah menyelesaikan masalah pangan yang bersifat struktural. Selama praktik oligopoli dibiarkan, distribusi dikelola dengan buruk, dan negara hanya berfungsi sebagai regulator, harga beras akan tetap mencekik.
Islam memberi alternatif yang jauh lebih kokoh. Dalam sistem Khilafah, negara hadir sebagai pengurus, bukan sekadar penonton. Jalur distribusi beras dari hulu hingga hilir dibenahi, praktik yang merugikan rakyat dihapus, bantuan untuk miskin dijamin, dan swasembada diwujudkan bukan hanya dalam angka, melainkan dalam kenyataan hidup rakyat.
Swasembada semu yang hari ini dipertontonkan pemerintah jelas tidak cukup. Rakyat tidak butuh janji manis atau data statistik. Rakyat butuh beras murah, berkualitas, dan terjangkau. Dan itu hanya bisa terwujud jika tata kelola pangan dijalankan dengan paradigma Islam, bukan kapitalisme.
Wallahu'alam..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI