Aku hanya tersenyum kecut dan kembali ke dapur dengan langkah berat. Padahal aku sudah capek masak dan berharap anakku akan makan dengan lahap. Kini makanan itu hanya menjadi penghuni lemari makan sampai suamiku datang malam nanti.
Keesokan paginya, suasana rumah terasa lebih sunyi. Hari itu sekolah libur, dan aku bersiap pergi ke pasar. Aku melihat Arunika sedang terbaring di sofa ruang tamu sambil memegang gawainya.
"Ibu mau ke pasar beli sayuran, mau ikut?" tawarku sambil memakai kerudung dan merapikan tas belanja kain.
"Enggak deh, Bu. Titip nasi padang aja, ya? Yang rendang kayak biasa." Arunika bersandar di sofa sambil memainkan ponselnya.
Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil dan senyum tipis. Hari ini, aku sengaja tidak membelinya. Setelah hampir satu jam, aku kembali dengan kantong plastik berisi sayuran dan bahan dapur. Arunika segera menghampiri dengan mata berbinar.
"Bu, mana nasi padangnya?" Arunika segera menghampiri dengan mata berbinar.
Aku pura-pura terkejut. "Aduh, tadi ibu kelupaan, Nak." Aku pura-pura terkejut.
"Hah? Masa sih, Bu? Kan tadi sudah nitip..." Arunika mengerucutkan bibir, kecewa.
"Gapapa, ya. Lagian kamu udah terlalu sering makan nasi padang. ibu takut perut kamu kenapa-kenapa. Sekarang mending nunggu masakan ibu aja." bujuk aku lembut.
"Hufft..." Arunika menghela napas dalam dan berjalan masuk ke kamarnya tanpa sepatah kata lagi.
Siang itu, aroma tumis kangkung dan ayam kecap memenuhi rumah. Aku memanggil dari ruang makan,