Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Senang menulis, pembelajar.

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi. Penulis kumpulan cerpen "Asa Di Balik Duka Wanodya", ,Novel “Serpihan Atma”, Kumpulan puisi”Kulangitkan Asa dan Rasa, 30 buku antologi Bersama dengan berbagai genre di beberapa komunitas. Motto: Belajar dan Berkarya Sepanjang Masa tanpa Terbatas Usia. Fb Nina Sulistiati IG: nsulistiati

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen I Kenapa Harus Aku yang Lebih Lama?

9 Mei 2025   02:27 Diperbarui: 9 Mei 2025   02:27 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karina duduk di beranda kamar VIP rumah sakit Medika, menatap langit sore yang memerah. Angin membawa aroma tanah basah dari hujan siang tadi. Di tangannya, secangkir teh hangat bergetar sedikit karena tangannya yang mulai melemah. Karina menghela napas panjang.

"Kau tahu, Tuhan," bisiknya, "kalau boleh memilih, aku ingin Kau panggil aku lebih dulu."

Di dalam ruangan, suara batuk suaminya, Rangga, terdengar sayup. Sudah seminggu  suaminya terbaring di rumah sakit karena mengidap fibrosis akut. Karina tak tahu jika suaminya mengidap penyakit itu sejak lama.

Karina mengepalkan jemarinya. Hatinya berat. Dia menyesali apa yang telah dia rasakan selama ini. Ketakutan pada sesuatu yang tak jelas alasannya. Karina takut bukan pada kematian atau pada rasa sakit yang dideritanya sejak setahun lalu. Namun, pada kemungkinan Rangga, suaminya, mencari pelukan perempuan lain. Karina  bukannya tak percaya pada cinta suaminya. Karina tahu jika tubuhnya sendiri telah menua, dan Karina merasa tak lagi mampu menjadi perempuan yang Rangga butuhkan. Apalagi penyakit kanker yang dideritanya sejak tahun lalu.

Karina  kerap menatap foto dirinya yang dulu, berbeda dengan kondisinya saat ini. Dia sudah tak menarik lagi. Karina sering menatap cermin berlama-lama, mencoba menemukan Karina yang dulu. Namun yang Karina temui hanya sorot mata yang cemas dan kulit yang tak mampu Karina haluskan lagi.

"Aku ini tak berarti lagi untukmu, Rangga?" gumamnya dalam hati.

Padahal Rangga, seperti biasa, tetap mencintainya. Dia tetap membacakan doa sebelum tidur, tetap menggenggam tangannya saat berjalan di taman. Namun, ketakutan itu melekat di hati Karina, menggerogoti kepercayaannya sedikit demi sedikit.

Karina mulai merasa kalah dengan waktu. Tubuhnya tak lagi mampu menyalakan gairah yang dulu sering membuat Rangga memujinya. Karina merasa asing di ranjang mereka. Bahkan saat Rangga memeluknya, Karina merasa tubuhnya hanya dipeluk karena kewajiban, bukan karena hasrat.

Malam-malam belakangan ini Karina sering gelisah. Karina mulai mencatat hal-hal kecil yang menurutnya janggal: waktu mandi Rangga yang lebih lama, wangi parfum baru yang tak pernah mereka beli bersama, nada dering yang berubah diam-diam.

Suatu malam, Karina melihat Rangga berkirim pesan lewat ponsel. Rangga tersenyum kecil saat membaca pesan. Karina merasa dadanya mengeras. Karina menahan diri untuk tidak bertanya, tidak mengintip. Namun, benih kecurigaan sudah tertanam. Rasa tidak aman itu kini bertumbuh menjadi kegelisahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun