"Kau... harus tetap kuat. Jangan menangis terus... nanti matamu sembab, aku gak bisa lihat senyummu..." Suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan angin yang nyaris pergi.
Karina menggeleng, mencium jemari itu satu-satu, seolah bisa menyimpan sisa hangatnya di dalam hatinya selamanya. Tubuh Rangga mulai mendingin, tapi ia masih berusaha berbicara. Bibirnya bergetar, dadanya naik turun dengan susah payah.
"Jaga dirimu... jangan terlalu lama sendiri. Kalau nanti ada orang yang sayang padamu... izinkan dia membahagiakanmu. Kalau kau tak bisa, cukup kenang aku... di dalam doamu, ya?"
Karina menahan isak. Suaranya pecah, "Jangan pergi dulu, Rangga... sebentar saja lagi... kita belum selesai..."
Dengan sisa tenaganya, Rangga tersenyum kecil. Air mata mengalir di sudut matanya.
"Kita sudah cukup... kita sudah hidup dengan cinta... itu yang penting. Bimbing aku kembali..."
Karina menuntut suaminya dengan bacaan syahadat yang diikuti Rangga dengan lirih.
"Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah
Bunyi detak monitor mulai melambat, lalu satu garis lurus membelah layar---sunyi. Karina memeluk tubuh Rangga yang telah diam, menangis dalam pelukan keheningan, sementara malam di luar jendela rumah sakit tetap berjalan seperti biasa, seolah tidak menyadari bahwa dunia Karina baru saja runtuh.
Karina merasa separuh jiwanya pergi malam ini. Tapi bersamaan dengan kesedihan itu,datang juga kesadaran yang menamparnya keras: selama ini Karina terlalu takut pada perubahan yang alami, seolah cinta bisa diukur dari tubuh yang menua. Padahal Rangga mencintainya bukan karena tubuh mudanya, tapi karena siapa dirinya.
"Kenapa harus aku yang lebih lama, Tuhan?" bisiknya lirih.
Tiga hari setelah kepergian Rangga, Karina menemukan kenangan yang Rangga tinggalkan di laci meja, sepasang cangkir teh yang masih lengkap, dan surat terakhir yang belum sempat diberikan: