Karina duduk di beranda kamar VIP rumah sakit Medika, menatap langit sore yang memerah. Angin membawa aroma tanah basah dari hujan siang tadi. Di tangannya, secangkir teh hangat bergetar sedikit karena tangannya yang mulai melemah. Karina menghela napas panjang.
"Kau tahu, Tuhan," bisiknya, "kalau boleh memilih, aku ingin Kau panggil aku lebih dulu."
Di dalam ruangan, suara batuk suaminya, Rangga, terdengar sayup. Sudah seminggu suaminya terbaring di rumah sakit karena mengidap fibrosis akut. Karina tak tahu jika suaminya mengidap penyakit itu sejak lama.
Karina mengepalkan jemarinya. Hatinya berat. Dia menyesali apa yang telah dia rasakan selama ini. Ketakutan pada sesuatu yang tak jelas alasannya. Karina takut bukan pada kematian atau pada rasa sakit yang dideritanya sejak setahun lalu. Namun, pada kemungkinan Rangga, suaminya, mencari pelukan perempuan lain. Karina bukannya tak percaya pada cinta suaminya. Karina tahu jika tubuhnya sendiri telah menua, dan Karina merasa tak lagi mampu menjadi perempuan yang Rangga butuhkan. Apalagi penyakit kanker yang dideritanya sejak tahun lalu.
Karina kerap menatap foto dirinya yang dulu, berbeda dengan kondisinya saat ini. Dia sudah tak menarik lagi. Karina sering menatap cermin berlama-lama, mencoba menemukan Karina yang dulu. Namun yang Karina temui hanya sorot mata yang cemas dan kulit yang tak mampu Karina haluskan lagi.
"Aku ini tak berarti lagi untukmu, Rangga?" gumamnya dalam hati.
Padahal Rangga, seperti biasa, tetap mencintainya. Dia tetap membacakan doa sebelum tidur, tetap menggenggam tangannya saat berjalan di taman. Namun, ketakutan itu melekat di hati Karina, menggerogoti kepercayaannya sedikit demi sedikit.
Karina mulai merasa kalah dengan waktu. Tubuhnya tak lagi mampu menyalakan gairah yang dulu sering membuat Rangga memujinya. Karina merasa asing di ranjang mereka. Bahkan saat Rangga memeluknya, Karina merasa tubuhnya hanya dipeluk karena kewajiban, bukan karena hasrat.
Malam-malam belakangan ini Karina sering gelisah. Karina mulai mencatat hal-hal kecil yang menurutnya janggal: waktu mandi Rangga yang lebih lama, wangi parfum baru yang tak pernah mereka beli bersama, nada dering yang berubah diam-diam.
Suatu malam, Karina melihat Rangga berkirim pesan lewat ponsel. Rangga tersenyum kecil saat membaca pesan. Karina merasa dadanya mengeras. Karina menahan diri untuk tidak bertanya, tidak mengintip. Namun, benih kecurigaan sudah tertanam. Rasa tidak aman itu kini bertumbuh menjadi kegelisahan.
"Kamu sering sekali pegang HP sekarang," kata Karina, berusaha terdengar santai.
Rangga mengangkat kepala. "Hah? Oh, iya. Ada grup alumni SMA. Baru aktif lagi."
"Grup alumni? Teman lama?" Karina menatap lekat wajah suaminya. Karina mencari makna di balik senyum Rangga. Sesuatu yang bisa menjelaskan kegelisahannya. Karina hanya menemukan ketenangan suaminya yang semakin membuatnya curiga. Ketenangan bisa menyembunyikan apa saja.
Karina mulai diam-diam menyelidiki. Karina memeriksa catatan telepon, menelusuri nama-nama yang tak dikenalnya bahkan meminjam ponsel cucunya hanya untuk mencari tahu tentang nomor-nomor asing. Karina menemukan satu nama yang membuat jantungnya berhenti sejenak: "Risa."
Nomor itu muncul beberapa kali dalam panggilan dan pesan.Pikiran Karina langsung mengembara: Siapa Risa? Kenapa tak pernah diceritakan oleh Rangga? Kenapa pesan itu hanya muncul di jam-jam saat Karina sudah tidur?
Tanpa pikir panjang, malam itu juga Karina menelepon nomor itu diam-diam.
"Halo, Assalamualaikum?" Suara perempuan muda menyambutnya.
Karina tak menjawab. Karina hanya mendengarkan. Suara itu terdengar muda, segar, dan hidup. Sementara dirinya merasa seperti kertas tua yang mulai sobek di ujung-ujungnya. Karina mematikan sambungan. Malam itu Karina tak bisa tidur.
Keesokan paginya, Karina berlagak biasa. Namun, saat Rangga pergi membeli koran di taman komplek, Karina membuka kembali ponsel suaminya. Rupanya ada pesan baru dari Risa.
"Terima kasih sudah memikirkan kami, Pak. Bantuan Bapak sangat berarti buat kami. Rencana hari minggu ini pun sudah siap, Pak. Anak-anak senang sekali karena Bapak akan merayakan ulang tahun isteri Bapak di sini. Semoga Allah memberkati keluarga Bapak."
Karina termenung.Karina menelusuri pesan-pesan sebelumnya dan menemukan bahwa Risa adalah pengasuh panti asuhan yang Rangga bantu secara diam-diam. Karina tak tahu jika suaminya ingin membuat kejutan ulang tahun pernikahan mereka dengan membawa Karina ke sana. Karina terdiam lama di ruang tamu. Tangannya gemetar saat menutup ponsel. Rasa malu menampar pipinya. Kecurigaan yang berlebihan telah membuatnya hilang akal.
Pagi itu Rangga mulai batuk semakin keras. Nafasnya pendek, langkahnya melambat.
"Aku cuma masuk angin," katanya. Karina tahu tubuh itu sedang menyerah perlahan.
Akhirnya mereka ke rumah sakit. Dignosa dokter membuat dunia Karina runtuh: paru-paru Rangga mengalami fibrosis akut. Karina tak tahu jika suaminya mengidap penyakit itu sejak lama. Rangga menyembunyikan sakitnya. Dia hanya beralasan sakit biasa jika sedang sesak napas atau batuk.
" Pak Rangga menderita Fibrosis akut pada paru-paru dan sayangnya tidak segera ditangani dengan cepat. Tidak banyak yang bisa kita lakukan selain membuatnya nyaman," kata dokter.
Karina penasaran dan mencari informasi tentang suaminya yang kini terbaring lemah.
Fibrosis akut, terutama pada paru-paru (fibrosis paru idiopatik), bisa menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan tepat. Kondisi ini dapat menyebabkan kegagalan pernapasan, peningkatan risiko infeksi, dan masalah kardiovaskular, yang dapat memicu kematian.
Karina menggenggam tangan Rangga malam ini di kamar rumah sakit. Tangannya kini kurus dan dingin. Namun, Rangga tetap tersenyum, meski dengan nafas yang makin berat.
"Kau tetap cantik bagiku, Karina. Bahkan saat kau marah, saat kau ragu padaku. Aku masih ingin hidup, bukan karena aku takut mati, tapi karena aku ingin menua bersamamu lebih lama lagi. Kau adalah rumahku, Karina. Sampai kapan pun."
Karina menunduk, air mata jatuh satu-satu di punggung tangan Rangga yang masih ia genggam erat. Suara monitor detak jantung di samping tempat tidur berdetak pelan, menjadi irama duka yang memecah kesunyian malam itu.
"Aku... aku tidak tahu harus bagaimana tanpamu, Rangga," ucap Karina lirih, suaranya tercekat.
Rangga mencoba tersenyum lagi, tapi napasnya tersendat. Matanya mulai buram, namun sorotnya tetap hangat, tetap penuh cinta. Ia mengangkat tangannya yang lemah, menyentuh wajah Karina dengan jemari yang gemetar.
"Kau... harus tetap kuat. Jangan menangis terus... nanti matamu sembab, aku gak bisa lihat senyummu..." Suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan angin yang nyaris pergi.
Karina menggeleng, mencium jemari itu satu-satu, seolah bisa menyimpan sisa hangatnya di dalam hatinya selamanya. Tubuh Rangga mulai mendingin, tapi ia masih berusaha berbicara. Bibirnya bergetar, dadanya naik turun dengan susah payah.
"Jaga dirimu... jangan terlalu lama sendiri. Kalau nanti ada orang yang sayang padamu... izinkan dia membahagiakanmu. Kalau kau tak bisa, cukup kenang aku... di dalam doamu, ya?"
Karina menahan isak. Suaranya pecah, "Jangan pergi dulu, Rangga... sebentar saja lagi... kita belum selesai..."
Dengan sisa tenaganya, Rangga tersenyum kecil. Air mata mengalir di sudut matanya.
"Kita sudah cukup... kita sudah hidup dengan cinta... itu yang penting. Bimbing aku kembali..."
Karina menuntut suaminya dengan bacaan syahadat yang diikuti Rangga dengan lirih.
"Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah
Bunyi detak monitor mulai melambat, lalu satu garis lurus membelah layar---sunyi. Karina memeluk tubuh Rangga yang telah diam, menangis dalam pelukan keheningan, sementara malam di luar jendela rumah sakit tetap berjalan seperti biasa, seolah tidak menyadari bahwa dunia Karina baru saja runtuh.
Karina merasa separuh jiwanya pergi malam ini. Tapi bersamaan dengan kesedihan itu,datang juga kesadaran yang menamparnya keras: selama ini Karina terlalu takut pada perubahan yang alami, seolah cinta bisa diukur dari tubuh yang menua. Padahal Rangga mencintainya bukan karena tubuh mudanya, tapi karena siapa dirinya.
"Kenapa harus aku yang lebih lama, Tuhan?" bisiknya lirih.
Tiga hari setelah kepergian Rangga, Karina menemukan kenangan yang Rangga tinggalkan di laci meja, sepasang cangkir teh yang masih lengkap, dan surat terakhir yang belum sempat diberikan:
"Untuk istriku, Karina:
Aku mencintaimu, bahkan saat kau tak lagi mencintai dirimu sendiri. Kalau aku pergi duluan, jangan merasa kalah oleh usia. Kau tak pernah tua di mataku. Kau hanya terus tumbuh---menjadi lebih kuat, lebih bijak, lebih indah.
Jangan buru-buru menyusul. Masih banyak perempuan lain yang butuh diingatkan bahwa mereka layak dicintai. Persis seperti kau."
Karina membaca surat itu sambil menangis. Namun, kali ini bukan karena kehilangan. tetapi karena akhirnya mengerti bahwa Allah memberinya waktu lebih lama bukan untuk menunggu mati, tapi untuk menyebarkan cinta yang tak pernah usang.
Cibadak, 8 Mei 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI