Pagi itu Rangga mulai batuk semakin keras. Nafasnya pendek, langkahnya melambat.
"Aku cuma masuk angin," katanya. Karina tahu tubuh itu sedang menyerah perlahan.
Akhirnya mereka ke rumah sakit. Dignosa dokter membuat dunia Karina runtuh: paru-paru Rangga mengalami fibrosis akut. Karina tak tahu jika suaminya mengidap penyakit itu sejak lama. Rangga menyembunyikan sakitnya. Dia hanya beralasan sakit biasa jika sedang sesak napas atau batuk.
" Pak Rangga menderita Fibrosis akut pada paru-paru dan sayangnya tidak segera ditangani dengan cepat. Tidak banyak yang bisa kita lakukan selain membuatnya nyaman," kata dokter.
Karina penasaran dan mencari informasi tentang suaminya yang kini terbaring lemah.
Fibrosis akut, terutama pada paru-paru (fibrosis paru idiopatik), bisa menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan tepat. Kondisi ini dapat menyebabkan kegagalan pernapasan, peningkatan risiko infeksi, dan masalah kardiovaskular, yang dapat memicu kematian.
Karina menggenggam tangan Rangga malam ini di kamar rumah sakit. Tangannya kini kurus dan dingin. Namun, Rangga tetap tersenyum, meski dengan nafas yang makin berat.
"Kau tetap cantik bagiku, Karina. Bahkan saat kau marah, saat kau ragu padaku. Aku masih ingin hidup, bukan karena aku takut mati, tapi karena aku ingin menua bersamamu lebih lama lagi. Kau adalah rumahku, Karina. Sampai kapan pun."
Karina menunduk, air mata jatuh satu-satu di punggung tangan Rangga yang masih ia genggam erat. Suara monitor detak jantung di samping tempat tidur berdetak pelan, menjadi irama duka yang memecah kesunyian malam itu.
"Aku... aku tidak tahu harus bagaimana tanpamu, Rangga," ucap Karina lirih, suaranya tercekat.
Rangga mencoba tersenyum lagi, tapi napasnya tersendat. Matanya mulai buram, namun sorotnya tetap hangat, tetap penuh cinta. Ia mengangkat tangannya yang lemah, menyentuh wajah Karina dengan jemari yang gemetar.