Siang itu 5 Oktober 2005, langit seakan ikut berkabung. Awan hitam bergelayut, menahan hujan yang seakan malu jatuh. Di sudut kamar rumah sakit, aku duduk memeluk diriku sendiri, membungkus tubuh yang tak henti gemetar.
Anakku, buah hatiku, baru saja pergi, meninggalkan dunia ini sebelum sempat mencicipi manisnya hidup. Usianya baru dua belas hari, masih sangat kecil. Tubuh mungilnya itu terbaring di ranjang rumah sakit, dipenuhi selang-selang tipis yang menusuk hidung, dada, dan lengannya yang rapuh. Tiap helaan napasnya dulu seperti perang melawan badai yang tak pernah surut. Kini, tangan mungil yang dulu menggenggam jemariku dengan sisa-sisa tenaga, telah kembali terkulai, seolah menyerah dalam keheningan yang terlalu luas untuk dipahami.
Aku mendekap tubuh kecilnya dalam pelukan yang terasa sia-sia; mencoba menghangatkan raga yang perlahan mendingin. Di sekeliling ranjangnya, mesin-mesin yang tadinya berbunyi kini hanya mengeluarkan satu dengungan panjang: sebuah garis lurus di layar monitor, seolah menggambar takdir yang enggan kuakui.
Takdir Sang Ilahi, kadang datang seperti hujan badai yang menggulung langit cerah dalam sekejap. Begitu pula dengan kami---aku dan suamiku. Kami pernah bermimpi tentang sebuah kehidupan baru, tentang tawa mungil yang akan mengisi hari-hari kami. Namun, Sang Penulis Takdir telah menorehkan jalan lain, yang harus kami lalui dengan mata basah dan dada penuh luka.
Pneumonia dan jamur --- dua kata sederhana, namun bagi kami, keduanya bergema seperti vonis dari hakim agung yang tak dapat diganggu gugat. Mereka datang seperti prajurit bayangan, mengendap-endap dan menggerogoti nafas anakku, menggerayangi setiap sudut paru-parunya yang belum kuat bertahan. Dua musuh tak kasatmata itu tidak hanya merampas helaan nafas dari tubuh kecil itu, tapi juga mencabik-cabik hidupku --- merampas detak dari jantung seorang ibu yang hanya bisa berdoa sambil memeluk udara kosong.
Setiap detik di ruang perawatan itu adalah peperangan sunyi. Setiap bunyi mesin, tiap kedipan monitor, adalah seruan antara hidup dan mati. Selang-selang yang menjulur dari hidung dan dadanya adalah akar-akar rapuh yang mencoba bertahan di tanah yang sudah tak subur.
Aku menatap wajahnya yang pucat, jari-jarinya yang kecil menggigil lemas lunglai. Dan saat garis itu akhirnya lurus di layar monitor, aku tahu: aku telah kehilangan lebih dariseparuh hidupku. Aku telah kehilangan sebongkah harapan yang belum sempat kubahagiakan.
Sang Ilahi telah memanggil kembali titipan-Nya. Si bidadari kecilku, bintang kecilku, kini bebas dari derita yang tak pantas ia tanggung. Namun aku, yang ditinggalkan, harus belajar merangkai hidup di atas puing-puing harapan yang runtuh. Belajar menerima bahwa ada cinta yang harus dilepaskan --- bukan karena ia tak berarti, tetapi justru karena ia terlalu berharga untuk terus diikat pada dunia ini.
Baca juga: Cerpen| Pilar Itu Berdiri untuk MenguatkanPneumonia dan jamur --- nama-nama asing itu akan selalu menggema di kepalaku, namun kini aku tahu: mereka bukan musuh sebenarnya. Mereka hanyalah utusan kecil dalam skenario agung Sang Ilahi, yang menuntunku pada pengertian tentang cinta, kehilangan, dan ketabahan yang tak mengenal batas.
Suamiku, yang biasanya selalu kuat, kini duduk di samping ranjang, menunduk dalam diam. Tangannya mengepal, seolah mencoba menahan amarah pada sesuatu yang bahkan tak bisa ia sentuh: takdir.
Aku menatap wajah kecil itu untuk terakhir kalinya. Mata yang dulu menatapku dengan kekaguman sederhana kini terpejam dalam damai yang memilukan. Aku menyentuh pipinya yang dingin, berusaha mengukirkan setiap lekuknya dalam ingatan.
Mereka bilang waktu menyembuhkan luka. Tapi bagaimana waktu bisa menghapus rasa kehilangan yang menancap seperti paku karat di dada? Setiap detik terasa seperti pasir basah yang menenggelamkanku perlahan. Aku hanyut dalam penyesalan: andai aku lebih cepat, andai aku lebih peka, andai aku bisa memindahkan semua rasa sakit itu ke dalam tubuhku sendiri.
Tuhan, mengapa begitu cepat kau renggut bahagia yang tercipta. Hanya sesaat?
Hari-hari sesudahnya berlalu seperti kabut. Aku bangun setiap pagi hanya untuk kembali tenggelam dalam keheningan yang memekakkan. Rumah kami berubah. Tawa menguap entah ke mana, digantikan bisikan doa yang lirih, hampir tanpa suara. Ada sebuah kekosongan yang menggantung di antara kami --- seperti kursi kosong di meja makan yang tak pernah lagi diduduki.
Malam-malam kami dipenuhi percakapan setengah suara, lebih banyak diam daripada kata-kata. Ranjang terasa lebih luas, dan dingin.Suamiku mencoba kuat, tapi aku tahu, di balik matanya yang lelah, ada duka yang ia kubur dalam-dalam. Kami berpegangan pada satu-satunya hal yang tersisa: satu sama lain.
Cibadak, 27 April 2025
Anakku, jadilah bidadari kecilku yang kelak akan menjemput kami menuju surga-Nya. Peluk sayang untukmu selamanya yang selalu bersemayam di relung atma.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI