Aku menatap wajah kecil itu untuk terakhir kalinya. Mata yang dulu menatapku dengan kekaguman sederhana kini terpejam dalam damai yang memilukan. Aku menyentuh pipinya yang dingin, berusaha mengukirkan setiap lekuknya dalam ingatan.
Mereka bilang waktu menyembuhkan luka. Tapi bagaimana waktu bisa menghapus rasa kehilangan yang menancap seperti paku karat di dada? Setiap detik terasa seperti pasir basah yang menenggelamkanku perlahan. Aku hanyut dalam penyesalan: andai aku lebih cepat, andai aku lebih peka, andai aku bisa memindahkan semua rasa sakit itu ke dalam tubuhku sendiri.
Tuhan, mengapa begitu cepat kau renggut bahagia yang tercipta. Hanya sesaat?
Hari-hari sesudahnya berlalu seperti kabut. Aku bangun setiap pagi hanya untuk kembali tenggelam dalam keheningan yang memekakkan. Rumah kami berubah. Tawa menguap entah ke mana, digantikan bisikan doa yang lirih, hampir tanpa suara. Ada sebuah kekosongan yang menggantung di antara kami --- seperti kursi kosong di meja makan yang tak pernah lagi diduduki.
Malam-malam kami dipenuhi percakapan setengah suara, lebih banyak diam daripada kata-kata. Ranjang terasa lebih luas, dan dingin.Suamiku mencoba kuat, tapi aku tahu, di balik matanya yang lelah, ada duka yang ia kubur dalam-dalam. Kami berpegangan pada satu-satunya hal yang tersisa: satu sama lain.
Cibadak, 27 April 2025
Anakku, jadilah bidadari kecilku yang kelak akan menjemput kami menuju surga-Nya. Peluk sayang untukmu selamanya yang selalu bersemayam di relung atma.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI