Malam merayap perlahan di seputaran Solo Baru, membawa udara dingin yang menggigit kulit. Bundaran patung Pandawa berdiri gagah, bersama semburan air mancur yang memantulkan cahaya lampu kota.
Aku berdiri di kedai tenda "Mbak Jum" yang tak jauh dari bundaran itu . Lampu sorot dari tiang parkir menyelimuti tubuhku yang dibalut gaun merah tua. Gincu menempel terlalu tebal di bibirku, rambut palsu menggelantung lemas, tapi senyumku... ah, senyum ini dipinjam dari kepedihan yang tak sempat kutulis.
"Katanya mau berhenti, Le. Mbok ya goleki gawean sing pantes. Nggak mesti dandan koyo wong wedok, " ujar Pak Kasim, sang juru parkir saat melihatku datang.
"Nyuwun sewu, Pak De, " jawabku singkat sambil berlalu , pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakannya.
Suaraku menyeruak, menyanyikan lagu campursari yang selalu bikin ambyar hati. Denting ukulele menyatu dengan suara langkah, klakson, dan panggilan tukang parkir. Orang-orang menoleh, lalu satu dua tersenyum.
Lagu-lagu campur sari Mas Didi Kempot mengalun dari bibirku.
Kuputus urat malu demi mengais sedikit rupiah dari para pemberi sedekah. Tidak semua pengunjung senang dengan kehadiranku. Ada yang menyawer, ada yang hanya mengangguk, ada yang iseng merekam aksiku bahkan ada yang mencibir ke arahku. Mungkin mereka berpikir aku benar-benar lelaki yang gak tahu malu, menggadaikan harga diri dan mencari sensasi.
Malam seperti biasa. Aku tetap asyik memainkan ukulele dengan satu harapan banyak pengunjung yang akan menyawer, sampai pandanganku tertuju pada sosok seseorang. Ia baru turun dari motor di seberang jalan. Langkahnya cepat, membawa dua kantong plastik berisi susu segar dan roti bakar.Rambutnya dijepit asal, wajahnya tampak letih namun tetap teduh. Ia berjalan ke arah warung nasi goreng tak jauh dari tempatku, lalu duduk.
Wulan.Dunia runtuh dalam sekejap. Hatiku tercekat,jari-jari membeku di atas senar ukulele. Istriku --Cahaya hidupku-- yang selama ini kupikir lebih baik tak melihat lorong gelap yang terpaksa kupilih, ada di sini.
Aku mencoba menyanyi lagi, tetapi suaraku sumbang. Wulan menatap ke arahku, tetapi matanya tak memancarkan kecurigaan. Ia tak mengenaliku. Mungkin karena make-up yang tebal dan terlalu jauh dari bayangan lelaki yang dulu mengucap akad di pelaminan kecil itu.
"Mbak Yolanda tambah ayu wae, coba nyanyi lagu cinta," celetuk seorang pria muda sambil meletakkan uang di kotak saweran.