Azan masih belum terdengar dari Masjid Al Islah karena jarum jam di dinding menunjukkan angka tiga. Kami---aku, suami dan kedua anakku bergegas mandi dan menyiapkan diri. Kami akan pergi ke kota kembang. Rutinitas Tri wulanan yang harus dilakukan dan sudah berjalan selama lima belas tahun ini.
Servis alat bantu dengar milik bidadari kecilku yang harus diservis tiga bulan sekali agar maksimal fungsinya. Kami harus pergi ke kota provinsi karena servis itu belum ada di kota tempat tinggalku. Kami sengaja berangkat pagi-pagi agar rnendapatkan layanan pagi-pagi dan alat itu dapat kami bawa pulang tanpa harus menginap.
Pukul 8.30 kami tiba di pelataran Hearing Center yang masih tutup. Aku duduk di bangku ruang tunggu Hearing Center Bandung pagi itu. Ruangan belum benar-benar ramai, tapi kursi-kursi mulai terisi oleh orang-orang yang datang dengan harapan dan kekhawatiran yang sama: pendengaran. Di hadapanku duduk para lansia dengan alat bantu dengar tergantung di telinga, beberapa remaja yang terlihat tak nyaman, dan bayi-bayi mungil yang digendong orang tuanya---menunggu giliran dengan sabar, mungkin belum benar-benar mengerti mengapa mereka ada di sana.
Di seberang tempat dudukku, aku melihat seorang ibu muda memangku bayinya. Bayi itu mungil, kira-kira baru berusia satu tahun. Kulitnya pucat, tubuhnya kurus, tatapannya... tajam namun kosong, seperti sedang mencari sesuatu.
Aku memperhatikan lebih saksama. Di bawah hidungnya terpasang sebuah selang tipis yang terhubung ke alat kecil di tas ibunya. Seperti alat infus, tapi ini masuk melalui hidung, bukan pembuluh darah.
Astagfirullah...kupikir bayi mungil itu terlalu kecil untuk menanggung penderitaan. Terlalu kecil untuk dunia yang sudah begitu keras.
Sang ibu menyadari tatapanku, lalu tersenyum pelan. Senyum yang tidak bisa disalahartikan sebagai bahagia, tapi lebih sebagai isyarat tabah.
Aku mencoba membuka percakapan. "Anaknya... sedang terapi pendengaran juga?"
Ia mengangguk. "Iya. Sudah hampir satu tahun kami bolak-balik ke sini. Dokter bilang dia tuli bawaan. Tak bisa mendengar sejak lahir."
Aku terdiam, menelan ludah. Aku tahu rasanya, sebab pernah di posisi itu. Anakku juga tuli bawaan. Namun, bidadari kecilku itu tak memiliki masalah lain selain pendengaran. Dengan intervensi dini,.menggunakan alat bantu dengar, dan mengikuti berbagai terapi,anakku hidup seperti anak normal lainnya. Tak ada menyangka jika dia tuli. Kini dia sudah remaja. Sudah bisa tertawa, bergaul, dan punya cita-cita. Saya nyaris lupa bagaimana beratnya masa itu... sampai hari ini.