Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyapa Sunyi untuk Menjaga Hidup

14 Agustus 2025   17:34 Diperbarui: 14 Agustus 2025   17:34 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kasus perempuan melakukan bunuh diri di Indonesia, lebih sedikit dibanding pria. /Freepik

Menyapa Sunyi untuk Menjaga Hidup

“Di balik angka, ada nyawa yang berharap didengar.”

Oleh Karnita

Pendahuluan

Rabu, 14 Agustus 2025, Pikiran Rakyat merilis laporan berjudul "Bunuh Diri Paling Banyak Dilakukan Pria, Jawa Tengah dan DIY Tertinggi Kasusnya", ditulis Kartono Sarkim dan disunting Tim Redaksi. Laporan ini menghadirkan potret kelam yang jarang dibicarakan secara terbuka, namun penting untuk dipahami secara mendalam. Penulis menggarap data, fakta, dan konteksnya dengan presisi yang patut diapresiasi.

Ketertarikan saya pada topik ini lahir dari kesadaran bahwa isu kesehatan mental sering kali terhenti pada lingkaran seminar dan kampanye seremonial. Padahal, data yang disampaikan menunjukkan tren yang terus meningkat, menuntut keseriusan dan keberanian semua pihak. Tulisan ini memantik refleksi tentang cara kita memandang, merespons, dan mencegah tragedi yang sebetulnya bisa dihindari.

Urgensinya tak dapat ditunda. Dalam lima tahun terakhir, kasus bunuh diri di Indonesia meningkat 60%. Sebagian besar korban adalah pria, dan wilayah Jawa Tengah serta DIY menempati posisi teratas. Di balik data itu, terdapat kisah manusia, keluarga yang kehilangan, dan masyarakat yang perlu berbenah.

1. Potret Angka dan Kenyataan

Data Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri menunjukkan 928 kasus bunuh diri terjadi pada Januari–Agustus 2024. Angka ini hanya potongan dari gambaran yang lebih besar, karena laporan resmi belum tentu mencakup semua kejadian. Ada kemungkinan underreporting, terutama untuk metode yang mudah disamarkan.

Yang mengejutkan, 76,94% korban adalah pria. Hanya 18,43% kasus dilakukan oleh perempuan, sementara sisanya tidak teridentifikasi. Perbedaan ini memicu pertanyaan tentang tekanan sosial, beban peran gender, dan keterbatasan ruang berbagi yang dimiliki pria.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun