Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Senang menulis, pembelajar.

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi. Penulis kumpulan cerpen "Asa Di Balik Duka Wanodya", ,Novel “Serpihan Atma”, Kumpulan puisi”Kulangitkan Asa dan Rasa, 30 buku antologi Bersama dengan berbagai genre di beberapa komunitas. Motto: Belajar dan Berkarya Sepanjang Masa tanpa Terbatas Usia. Fb Nina Sulistiati IG: nsulistiati

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen| Pilar Itu Berdiri untuk Menguatkan

8 April 2025   14:28 Diperbarui: 8 April 2025   18:00 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak tuli sedang berkomunikasi. Sumber: https://www.orami.co.id/magazine/sebutan-tuli-atau-tunarungu#google_vignette

Selanjutnya selama enam tahun, seminggu dua kali aku mengantarkannya ketempat terapi dan setiap tiga bulan sekali harus ke Bandung untuk servis alat bantu dengarnya. Namun anakku tidak pernah harus menghadapi ruang ICU, infus, selang makan, dan tatapan dokter yang ragu.

Aku merasa seperti ditampar. Aku malu pada hatiku sendiri yang pernah merasa hidup paling menderita di dunia. Aku malu karena pernah menggugat  Tuhan dan takdir yang diberikan-Nya kepada putriku. 

"Anak saya juga tuli sejak lahir," kataku perlahan. "Dua telinganya harus pakai alat bantu dengar. Waktu dia kecil, saya sering menangis di kamar mandi, merasa gagal jadi ibu. Hari ini kami datang ke sini hanya untuk cek rutin. Dia sekarang sudah remaja, 16 tahun. Bisa sekolah, bisa menulis puisi, bisa bercanda seperti anak lainnya, pandai mengaji, rajin salat, suka menyanyi..."

Sang ibu menatapku lekat-lekat. Kali ini, matanya yang berkaca-kaca.

"Berarti... ada harapan ya?" tanyanya pelan.

Aku mengangguk, meyakinkan. "Bukan hanya harapan. Tapi kehidupan yang baru. Memang jalannya tidak mudah, tetapi anak-anak kita tak membutuhkan kita untuk jadi sempurna. Mereka hanya butuh kita untuk bertahan."

Tiba-tiba, ruangan yang tadinya penuh ketegangan terasa hangat. Seolah kami---dua ibu dari dua masa yang berbeda---terhubung oleh ikatan yang tak kasat mata. Ikatan antara rasa sakit, harapan, dan kekuatan.

Hari itu, aku belajar kembali makna bersyukur. Bahwa di atas penderitaanku, masih banyak penderitaan yang lebih berat. Tapi di balik semua itu, selalu ada cinta yang tak pernah habis. Cinta seorang ibu.

Dan di antara air mata dan harapan, aku tahu, satu hal tak pernah berubah: Di balik duka seorang anak, selalu ada ibu yang menjadi pilar. Tak terlihat, tak dimuliakan, tapi kokoh menopang langit kecil anaknya agar tak runtuh.

Bandung, 8 April 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun