Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Politik Beras, dari Orde Baru ke Reformasi

28 Februari 2024   00:34 Diperbarui: 4 Maret 2024   03:00 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi beras Bulog. (Foto: KOMPAS.com/ ELSA CATRIANA) 

Indonesia lagi ribut soal beras. Harga beras naik di mana-mana. CNN Indonesia (23/2)024) melaporkan harga beras sudah sampai Rp 18.000/kg. Selain beras, kedelai, cabe dan gula juga sering bikin ribut Indonesia kalau harga melonjak.

Kedelai bahan baku tempe dan tahu, juga makanan penting manusia Indonesia. Ungkapan 'pagi tempe, soreh tahu' menggambarkan inkosistensi omongan dan sikap. Ungkapan ini juga mewakiliki betapa penting dua makanan ini bagi keluarga-keluarga rakyat jelata Indonesia.

Beras adalah makanan utama orang Indonesia. Belum makan, kalau belum makan nasi. Beras mendefisinikan menu Indonesia. Tanpa beras yang dihidangkan jadi nasi, menunya kurang rasa Indonesia. Bisa dikatakan, 'saya makan nasi, maka saya orang Indonesia'.

Turunan beras, tepung beras menjadi bahan dasar kue-kue hari raya. Meski ada tepung terigu dan gandum, tepung beras jadi pilihan utama.

Politik Beras di bawah Orde Baru

Begitu pentingnya beras, membuat Orde Baru (1969-1998), menempatkan produksi beras sebagai agenda utama dalam kebijakan pertanian. Setelah konsolidasi kekuasaan selama 1965-1969, Suharto tancap gas meningkatkan produksi pertanian. Produksi beras menjadi agenda penting sejak rencana pembangunan lima tahun I (REPELITA) (1969-1974).

Repelita II (1974-1979) dan III (1979-1984) juga menekankan ketersediaan beras dan bahan pangan lain. Tahun 1985, FAO (Food and Agricultural Organization) mengganjar Suharto dengan penghargaan swasembada pangan. Sebenarnya karena berhasil swasembada beras. Pada tahun 1984, produksi beras mencapai 25,8 juta ton (bisnis.com).

Setelah beras cukup, mulai repelita IV (1984-1989), Orde Baru melirik pengembangan industri. Kebutuhan untuk mendorong eskpor non-migas adalah alasan di balik kebijakan ini. 

Setelah bonanza minyak di tahun 1974, pendapatan minyak naik turun. Harus ada sumber pemasukan negara dari sektor lain. Industri manufaktur berbasis upah murah menjadi pilihan utama.

Meskipun demikian, produksi pangan tidak pernah keluar dari daftar agenda pembangunan Orde Baru. Dalam Pelita V (1989-1994) stabilisasi swasembada pangan menjadi satu agenda utama pembangunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun