Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Politik Beras, dari Orde Baru ke Reformasi

28 Februari 2024   00:34 Diperbarui: 4 Maret 2024   03:00 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi beras Bulog. (Foto: KOMPAS.com/ ELSA CATRIANA) 

Di bawah rezim otoriter Orde Baru, kontrol pusat sangat kuat. Dalam bidang pertanian, Suharto menekan para gubernur dan bupati untuk mencapai target-target produksi pertanian termasuk perluasan lahan sawah dan peningkatan produksi pangan, khususnya beras. Yang gagaldiberi sanksi, misalnya, tidak boleh melanjutkan periode kedua jabatan.

Desentralisasi membuat rentang koordinasi kebijakan pertanian menjadi panjang dan lebih sulit dilakukan. Para kepala daerah mungkin juga lebih tertarik mendorong perkebunan luas seperti sawit dan hutan tanaman industri. 

Sektor ini lebih menjanjikan pendapatan daerah yang lebih besar dibanding produksi padi sawah. Industri perkebunan juga dapat menjadi sumber biaya politik dibandingkan para petani sawah berukuran kecil.

Kedua, liberalisasi pasar mendorong petani menanam komoditas lain yang memiliki nilai tambah lebih karena harga lebih tinggi. Harga beras yang rendah, sementara biaya pupuk dan pestisida yang makin tinggi membuat petani enggan menanam padi.

Situasi ini kemudian mendorong alih fungsi lahan. Petani menjual lahan untuk kawasan industri, perumahan, wisata dan peruntukan non-pertanian lain.

Laporan BPS menunjukkan bahwa luas lahan panen padi turun dari 10,66 juta ha (2020) ke 10,41 juta ha (2021). Dampaknya adalah gabah kering giling juga turun dari 54,65 juta ton, menjadi 54.42 juta ton di dua tahun tersebut.

 Ketiga, ekonomi rente dan beras politik. Politik beras di bawah Orde dikontrol oleh pemerintah terpusat. Impor beras juga relatif terkontrol. Sentralisasi membuat ruang ekonomi rente, meski ada, tetapi dengan pemain terbatas.

Pasca Orde Baru, politik beras mungkin berhubungan dengan beras politik. Yang kedua terjadi ketika penyediaan beras, khususnya, melalui impor menjadi 'hadiah'bagi oligarki pendukung. Selama ini impor dilakukan oleh Bulog dengan melibatkan rekanan.

Impor beras memberi keuntungan bagi banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Sama seperti impor kedelai, garam dan juga impor BBM sebelum pembubaran Petral. 

Ada keuntungan lebih (rente) dari yang seharusnya dan diperoleh kelompok-kelompok bisnis yang ditunjuk jadi rekanan. Keuntungan ini diperoleh dari selisih harga di pasar internasional dengan harga dalam negeri yang lebih tinggi. 

Almarhum ekonom, Rizal Ramli, dalam diskusi di Media Center DPR 20 September 2018 mengatakan bahwa impor dipertahankan karena memberi keuntungan besar bagi mereka yang diberi kuota impor pangan oleh pemerintah. Daripada produksi sendiri beras, lebih baik diimpor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun