Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Politik Beras, dari Orde Baru ke Reformasi

28 Februari 2024   00:34 Diperbarui: 4 Maret 2024   03:00 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi beras Bulog. (Foto: KOMPAS.com/ ELSA CATRIANA) 

Indonesia lagi ribut soal beras. Harga beras naik di mana-mana. CNN Indonesia (23/2)024) melaporkan harga beras sudah sampai Rp 18.000/kg. Selain beras, kedelai, cabe dan gula juga sering bikin ribut Indonesia kalau harga melonjak.

Kedelai bahan baku tempe dan tahu, juga makanan penting manusia Indonesia. Ungkapan 'pagi tempe, soreh tahu' menggambarkan inkosistensi omongan dan sikap. Ungkapan ini juga mewakiliki betapa penting dua makanan ini bagi keluarga-keluarga rakyat jelata Indonesia.

Beras adalah makanan utama orang Indonesia. Belum makan, kalau belum makan nasi. Beras mendefisinikan menu Indonesia. Tanpa beras yang dihidangkan jadi nasi, menunya kurang rasa Indonesia. Bisa dikatakan, 'saya makan nasi, maka saya orang Indonesia'.

Turunan beras, tepung beras menjadi bahan dasar kue-kue hari raya. Meski ada tepung terigu dan gandum, tepung beras jadi pilihan utama.

Politik Beras di bawah Orde Baru


Begitu pentingnya beras, membuat Orde Baru (1969-1998), menempatkan produksi beras sebagai agenda utama dalam kebijakan pertanian. Setelah konsolidasi kekuasaan selama 1965-1969, Suharto tancap gas meningkatkan produksi pertanian. Produksi beras menjadi agenda penting sejak rencana pembangunan lima tahun I (REPELITA) (1969-1974).

Repelita II (1974-1979) dan III (1979-1984) juga menekankan ketersediaan beras dan bahan pangan lain. Tahun 1985, FAO (Food and Agricultural Organization) mengganjar Suharto dengan penghargaan swasembada pangan. Sebenarnya karena berhasil swasembada beras. Pada tahun 1984, produksi beras mencapai 25,8 juta ton (bisnis.com).

Setelah beras cukup, mulai repelita IV (1984-1989), Orde Baru melirik pengembangan industri. Kebutuhan untuk mendorong eskpor non-migas adalah alasan di balik kebijakan ini. 

Setelah bonanza minyak di tahun 1974, pendapatan minyak naik turun. Harus ada sumber pemasukan negara dari sektor lain. Industri manufaktur berbasis upah murah menjadi pilihan utama.

Meskipun demikian, produksi pangan tidak pernah keluar dari daftar agenda pembangunan Orde Baru. Dalam Pelita V (1989-1994) stabilisasi swasembada pangan menjadi satu agenda utama pembangunan.

Politik beras, yakni kebijakan untuk menjaga produksi dan stabilisasi harga beras dilakukan lewat tigas strategi. Pertama, pembangunan infrastruktur pertanian seperti bendungan, irigasi dan pabrik pupuk. 

Dalam pidato saat penyerahan penghargaan pemenang lomba intensifikasi pertanian, 22 Juni 1992, Suharto mengatakan bahwa salah satu alasan pembangunan pabrik semen, adalah kebutuhan irigasi dan bendungan.


Kedua, revolusi hijau melalui program Bimas (bimbingan masal) dan Inmas (Intensifikasi massal). Melalui dua program ini, para petani didorong untuk mengadopsi teknologi pertanian seperti traktor, pupuk kimia, insektisida pembasmi hama dan herbisida pembasmi rumput. 

Sebagai bagian dari program ini, Pemerintah Orde Baru mengangkat puluhan ribu penyuluh pertanian di seluruh Indonesia. Tentara juga dikerahkan melalui program ABRI Masuk Desa untuk membangun infrastruktur pertanian

Ketiga, negara yang baik hati mengalokasi dana besar untuk subsidi pertanian khususnya subsidi pupuk, pestisida dan pengadaan bibit. Subsidi juga yang mendorong petani menanam kedelai, sebagai bahan baku tempe.

Selain itu, negara menjaga stabilisasi harga dengan menetapkan harga dasar gabah dan membentuk Badan Urusan Logistik (BULOG). Lembaga ini dibentuk tahun 1967. 

Awalnya bertugas menyediakan jatah beras bulanan untuk pegawai negeri, guru dan tentara. Tugasnya kemudian diperluas untuk membeli beras dari petani saat panen berlimpah dan menjualnya melalui operasi pasar ketika harga beras naik karena kemarau atau panen menurun.

Orde Baru punya dua alasan untuk mempertahankan produksi beras tinggi, seraya menjaga harga beras rendah. Pertama, stabilitas politik. Beras adalah makanan utama orang Indonesia. 

Beras kurang bisa jadi kurang sabar. Orang lapar bikin cepat marah. Karena itu, beras tidak boleh langka, harga beras juga mesti dijaga tetap terjangkau. 

Kelangkaan beras dapat mengancam stabilitas politik. Padahal 'stabilitas demi pertumbuhan' adalah dogma pembangunan ekonomi Orde Baru.

Kedua, Proses industrialisasi. Indonesia memulai indutri dengan membangun manufaktur padat tenaga kerja (Labour intensive manufacture). Yang dibangun adalah pabrik tekstil, alas kaki dan elektronik ringan. Selain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik, mulai tahun 1980-an, pemerintah mendorong ekspor.

Faktor kunci daya saing manufaktur ringan di pasar internasional adalah upah buruh rendah. Harga beras rendah adalah bagian strategi untuk menjaga biaya hidup buruh di perkotaan tetap rendah sehingga upah juga bisa dijaga tetap rendah. Dengan cara ini, Indonesia juga menjadi tempat favorit bagi investasi asing di bidang manufaktur ringan.

Pasca Orde Baru

Dimensi politik beras tetap kuat pasca Orde Baru. Politik beras era Orde Baru difokuskan pada upaya swasembada. Politik beras pasca Orde Baru ditopang oleh impor beras yang semakin meningkat. 

Orde Baru juga melakukan beberapa kali impor beras ketika produksi dalam negeri tidak cukup. Meskipun demikian, produksi dalam negeri tetap menjadi prioritas.

Presiden SBY dan Jokowi selalu berjanji dan berupaya menaikkan produksi beras dalam negeri. Jokowi saat kampanye pemilu 2014 menyatakan tekadnya untuk menekan impor beras dengan membangun swasembada pangan, terutama beras, kedelai dan jagung. Tekad swasembada terus diulang selama periode pertama pemerintahannya (2014-1019).

Realitasnya Indonesia terus membeli beras dari luar negeri. BPS melaporkan Indonesia mengimpor beras sebanyak 844,2 ton (2014), meningkat menjadi1,3 juta ton (2016). 

Impor beras menurun di tahun 2017, tetapi naik lagi mencapai 2,3 juta ton (2018). Angka impor beras tertinggi terjadi di tahun 2023 sebanyak 3,1 juta ton. Padahal antara 2018-2022, impor beras rata-rata tidak mencapi 500 ribu ton (https://www.idxchannel.com/economics/).

Alasan impor masih sama yakni beras itu sensitif secara politis dan karena itu pasokan dan stabilitas harga harus terjamin. Pertanyaan kemudian adalah mengapa 10 tahun pemerintahan SBY dan 10 Tahun Jokowi, Indonesia gagal mencapai swasembada beras.

Ada beberapa kemungkina penjelasan. Pertama, dampak desentralisasi. Otonomi daerah telah meningkatkan 'good governance' dalam bentuk wewenang kebijakan lebih luas di daerah, partisipasi lembaga lokal lebih besar dan otonomi administrasi pembangunan yang lebih besar. Hubungan pusat dan daerah juga relatif setara dan demokratis.

Masalahnya 'good governance' tidak selalu menghasilkan 'effective governance'. Yang kedua menyangkut bagaiamana kebijakan harus dirumuskan secara demokratis, tetapi tetap efektif, efisien dan cepat dalam implementasi.

Di bawah rezim otoriter Orde Baru, kontrol pusat sangat kuat. Dalam bidang pertanian, Suharto menekan para gubernur dan bupati untuk mencapai target-target produksi pertanian termasuk perluasan lahan sawah dan peningkatan produksi pangan, khususnya beras. Yang gagaldiberi sanksi, misalnya, tidak boleh melanjutkan periode kedua jabatan.

Desentralisasi membuat rentang koordinasi kebijakan pertanian menjadi panjang dan lebih sulit dilakukan. Para kepala daerah mungkin juga lebih tertarik mendorong perkebunan luas seperti sawit dan hutan tanaman industri. 

Sektor ini lebih menjanjikan pendapatan daerah yang lebih besar dibanding produksi padi sawah. Industri perkebunan juga dapat menjadi sumber biaya politik dibandingkan para petani sawah berukuran kecil.

Kedua, liberalisasi pasar mendorong petani menanam komoditas lain yang memiliki nilai tambah lebih karena harga lebih tinggi. Harga beras yang rendah, sementara biaya pupuk dan pestisida yang makin tinggi membuat petani enggan menanam padi.

Situasi ini kemudian mendorong alih fungsi lahan. Petani menjual lahan untuk kawasan industri, perumahan, wisata dan peruntukan non-pertanian lain.

Laporan BPS menunjukkan bahwa luas lahan panen padi turun dari 10,66 juta ha (2020) ke 10,41 juta ha (2021). Dampaknya adalah gabah kering giling juga turun dari 54,65 juta ton, menjadi 54.42 juta ton di dua tahun tersebut.

 Ketiga, ekonomi rente dan beras politik. Politik beras di bawah Orde dikontrol oleh pemerintah terpusat. Impor beras juga relatif terkontrol. Sentralisasi membuat ruang ekonomi rente, meski ada, tetapi dengan pemain terbatas.

Pasca Orde Baru, politik beras mungkin berhubungan dengan beras politik. Yang kedua terjadi ketika penyediaan beras, khususnya, melalui impor menjadi 'hadiah'bagi oligarki pendukung. Selama ini impor dilakukan oleh Bulog dengan melibatkan rekanan.

Impor beras memberi keuntungan bagi banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Sama seperti impor kedelai, garam dan juga impor BBM sebelum pembubaran Petral. 

Ada keuntungan lebih (rente) dari yang seharusnya dan diperoleh kelompok-kelompok bisnis yang ditunjuk jadi rekanan. Keuntungan ini diperoleh dari selisih harga di pasar internasional dengan harga dalam negeri yang lebih tinggi. 

Almarhum ekonom, Rizal Ramli, dalam diskusi di Media Center DPR 20 September 2018 mengatakan bahwa impor dipertahankan karena memberi keuntungan besar bagi mereka yang diberi kuota impor pangan oleh pemerintah. Daripada produksi sendiri beras, lebih baik diimpor.

Penutup

Tidak ada bangsa kuat dan maju tanpa sektor pangan yang kuat. Negara-negara industri di Uni Eropa saja masih mempertahankan kebijakan pertanian bersama. 

Dalam kebijakan ini, petani Eropa mendapat subsidi untuk mampu bersaing di pasar. Beras adalah Indonesia. Indonesia adalah beras. Mempermainkan komoditas beras, misalnya, dengan mempertahankan produksi dalam negeri tetap rendah demi 'beras' politik membahayakan ketahanan pangan dan juga stabilitas sosial politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun