Politik beras, yakni kebijakan untuk menjaga produksi dan stabilisasi harga beras dilakukan lewat tigas strategi. Pertama, pembangunan infrastruktur pertanian seperti bendungan, irigasi dan pabrik pupuk.Â
Dalam pidato saat penyerahan penghargaan pemenang lomba intensifikasi pertanian, 22 Juni 1992, Suharto mengatakan bahwa salah satu alasan pembangunan pabrik semen, adalah kebutuhan irigasi dan bendungan.
Kedua, revolusi hijau melalui program Bimas (bimbingan masal) dan Inmas (Intensifikasi massal). Melalui dua program ini, para petani didorong untuk mengadopsi teknologi pertanian seperti traktor, pupuk kimia, insektisida pembasmi hama dan herbisida pembasmi rumput.Â
Sebagai bagian dari program ini, Pemerintah Orde Baru mengangkat puluhan ribu penyuluh pertanian di seluruh Indonesia. Tentara juga dikerahkan melalui program ABRI Masuk Desa untuk membangun infrastruktur pertanian
Ketiga, negara yang baik hati mengalokasi dana besar untuk subsidi pertanian khususnya subsidi pupuk, pestisida dan pengadaan bibit. Subsidi juga yang mendorong petani menanam kedelai, sebagai bahan baku tempe.
Selain itu, negara menjaga stabilisasi harga dengan menetapkan harga dasar gabah dan membentuk Badan Urusan Logistik (BULOG). Lembaga ini dibentuk tahun 1967.Â
Awalnya bertugas menyediakan jatah beras bulanan untuk pegawai negeri, guru dan tentara. Tugasnya kemudian diperluas untuk membeli beras dari petani saat panen berlimpah dan menjualnya melalui operasi pasar ketika harga beras naik karena kemarau atau panen menurun.
Orde Baru punya dua alasan untuk mempertahankan produksi beras tinggi, seraya menjaga harga beras rendah. Pertama, stabilitas politik. Beras adalah makanan utama orang Indonesia.Â
Beras kurang bisa jadi kurang sabar. Orang lapar bikin cepat marah. Karena itu, beras tidak boleh langka, harga beras juga mesti dijaga tetap terjangkau.Â
Kelangkaan beras dapat mengancam stabilitas politik. Padahal 'stabilitas demi pertumbuhan' adalah dogma pembangunan ekonomi Orde Baru.