Kedua, Proses industrialisasi. Indonesia memulai indutri dengan membangun manufaktur padat tenaga kerja (Labour intensive manufacture). Yang dibangun adalah pabrik tekstil, alas kaki dan elektronik ringan. Selain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik, mulai tahun 1980-an, pemerintah mendorong ekspor.
Faktor kunci daya saing manufaktur ringan di pasar internasional adalah upah buruh rendah. Harga beras rendah adalah bagian strategi untuk menjaga biaya hidup buruh di perkotaan tetap rendah sehingga upah juga bisa dijaga tetap rendah. Dengan cara ini, Indonesia juga menjadi tempat favorit bagi investasi asing di bidang manufaktur ringan.
Pasca Orde Baru
Dimensi politik beras tetap kuat pasca Orde Baru. Politik beras era Orde Baru difokuskan pada upaya swasembada. Politik beras pasca Orde Baru ditopang oleh impor beras yang semakin meningkat.Â
Orde Baru juga melakukan beberapa kali impor beras ketika produksi dalam negeri tidak cukup. Meskipun demikian, produksi dalam negeri tetap menjadi prioritas.
Presiden SBY dan Jokowi selalu berjanji dan berupaya menaikkan produksi beras dalam negeri. Jokowi saat kampanye pemilu 2014 menyatakan tekadnya untuk menekan impor beras dengan membangun swasembada pangan, terutama beras, kedelai dan jagung. Tekad swasembada terus diulang selama periode pertama pemerintahannya (2014-1019).
Realitasnya Indonesia terus membeli beras dari luar negeri. BPS melaporkan Indonesia mengimpor beras sebanyak 844,2 ton (2014), meningkat menjadi1,3 juta ton (2016).Â
Impor beras menurun di tahun 2017, tetapi naik lagi mencapai 2,3 juta ton (2018). Angka impor beras tertinggi terjadi di tahun 2023 sebanyak 3,1 juta ton. Padahal antara 2018-2022, impor beras rata-rata tidak mencapi 500 ribu ton (https://www.idxchannel.com/economics/).
Alasan impor masih sama yakni beras itu sensitif secara politis dan karena itu pasokan dan stabilitas harga harus terjamin. Pertanyaan kemudian adalah mengapa 10 tahun pemerintahan SBY dan 10 Tahun Jokowi, Indonesia gagal mencapai swasembada beras.
Ada beberapa kemungkina penjelasan. Pertama, dampak desentralisasi. Otonomi daerah telah meningkatkan 'good governance' dalam bentuk wewenang kebijakan lebih luas di daerah, partisipasi lembaga lokal lebih besar dan otonomi administrasi pembangunan yang lebih besar. Hubungan pusat dan daerah juga relatif setara dan demokratis.
Masalahnya 'good governance' tidak selalu menghasilkan 'effective governance'. Yang kedua menyangkut bagaiamana kebijakan harus dirumuskan secara demokratis, tetapi tetap efektif, efisien dan cepat dalam implementasi.