Dalam ilmu akuntansi, Erklren tampak dalam upaya menjelaskan hubungan antarvariabel misalnya, bagaimana leverage memengaruhi profitabilitas. Tapi Verstehen melangkah lebih dalam: ia bertanya mengapa pelaku ekonomi mengambil keputusan tertentu, bagaimana mereka memaknai laba, utang, atau tanggung jawab sosial.
Sebagai contoh, dua perusahaan dapat melaporkan laba bersih yang sama, tetapi maknanya bisa berbeda:
Bagi korporasi kapitalistik, laba adalah legitimasi publik.
-
Bagi lembaga sosial, laba adalah sarana berbagi kesejahteraan.
Bagi pesantren, laba adalah simbol keberkahan dan keseimbangan spiritual.
Pendekatan hermeneutik mengajarkan bahwa angka tidak pernah netral. Ia memuat nilai, niat, dan konteks sosial-historis yang membentuknya.
Krisis Nilai dan Hilangnya Empati
Akuntansi yang terjebak dalam logika objektivitas kehilangan empati. Ia berhenti melihat manusia di balik laporan. Dalam situasi ini, akuntan bisa mematuhi standar etika secara formal, namun gagal secara moral.
Hermeneutika Dilthey mengembalikan dimensi empatik dalam akuntansi melalui konsep Einfhlung (empati) Â kemampuan untuk memahami kehidupan orang lain dari dalam. Bagi akuntan, empati berarti menyadari bahwa setiap angka merepresentasikan kehidupan seseorang: gaji pekerja, nasib investor, kesejahteraan masyarakat, bahkan kelestarian lingkungan.
Dengan empati, akuntansi berubah dari sekadar sistem pengendalian menjadi alat komunikasi moral. Ia bukan lagi sekadar soal "benar atau salah," tetapi soal "baik dan adil."
Kebutuhan Etika dan Spiritualitas dalam Akuntansi