Rasionalitas Interpretatif: Ilmiah tanpa Positivistik
Dilthey menolak pandangan Auguste Comte yang menyatukan semua ilmu di bawah satu metode eksakta. Ia menegaskan bahwa pengetahuan tentang manusia tetap ilmiah meski tidak bersifat empiris universal. Rasionalitas dalam ilmu manusia terletak pada koherensi makna, bukan generalisasi statistik. Maka, penelitian akuntansi hermeneutik sah secara ilmiah jika ia mampu menyingkap struktur makna di balik tindakan ekonomi.
Dalam akuntansi, hal ini berarti penelitian hermeneutik tidak berperan sebagai pengamat netral, melainkan penafsir yang terlibat secara eksistensial. Ia menempuh jalan pemahaman (Verstehen) memasuki dunia hidup pelaku ekonomi untuk memahami makna di balik keputusan, bukan hanya hasil akhirnya. Dengan demikian, akuntansi hermeneutik membuka ruang bagi rasionalitas interpretatif: rasionalitas yang mengakui bahwa angka adalah simbol dari pengalaman manusia yang hidup, bukan data yang berdiri sendiri.
Kritik terhadap Positivisme dalam Akuntansi
Pendekatan Dilthey sekaligus menjadi kritik terhadap positivisme yang mendominasi akuntansi modern. Positivisme cenderung menyingkirkan nilai, seolah fakta ekonomi dapat berdiri sendiri tanpa konteks moral. Akibatnya, akuntansi terjebak dalam logika efisiensi dan kehilangan sisi kemanusiaannya.
Hermeneutika menawarkan koreksi mendasar: akuntansi bukan sekadar instrumen rasional untuk mengendalikan ekonomi, melainkan media komunikasi nilai dan makna sosial. Dengan memahami angka sebagai teks kehidupan, akuntansi dapat kembali pada hakikatnya sebagai ilmu kemanusiaan yang melayani keadilan, kejujuran, dan keseimbangan hidup.
Ontologi Akuntansi: Kehidupan sebagai Realitas
Akuntansi dalam Dunia Hidup (Lebenswelt)
Bagi Dilthey, realitas sosial tidak berdiri di luar manusia, melainkan hidup di dalam pengalaman manusia itu sendiri. Dunia manusia disebutnya Lebenswelt dunia hidup yang dihayati. Dunia ini penuh dengan nilai, perasaan, dan simbol.
Akuntansi, jika dilihat dari sudut pandang Lebenswelt, bukan sekadar alat teknis, tetapi bagian dari cara manusia menghayati kehidupannya. Pedagang tradisional yang menghitung rezeki, korporasi yang menyiapkan laporan tahunan, lembaga zakat yang mencatat amanah dana umat semuanya melakukan praktik akuntansi dalam horizon makna yang berbeda.
Artinya, realitas akuntansi tidak pernah netral. Ia selalu lahir dari konteks sosial, budaya, dan spiritual tertentu. Akuntansi hidup di dalam dunia nilai, bukan di luar kehidupan.