Mohon tunggu...
Nidiyah Aini
Nidiyah Aini Mohon Tunggu... MAHASISWA UNIVERSITAS MERCU BUANA I PRODI S1 AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS I NIM 43223010002

Mata kuliah: Teori Akuntansi. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito S.E.,AK.,M.SI., CIFM., CIABV., CIABG Universitas Mercu Meruya Prodi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey

11 Oktober 2025   18:26 Diperbarui: 11 Oktober 2025   18:26 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak
Apollo,Prof.Dr,M.Si.Ak

Pendahuluan: Akuntansi, Antara Angka dan Kehidupan

Ketika kita berbicara tentang akuntansi, kebanyakan orang segera membayangkan tabel angka, neraca keuangan, laporan laba rugi, atau catatan kas. Akuntansi telah lama diposisikan sebagai ilmu yang teknis dan objektif ilmu yang menjamin keteraturan ekonomi modern. Namun di balik angka-angka yang tampak netral itu, sesungguhnya tersimpan kisah manusia: tentang kerja keras, risiko, ketakutan, harapan, dan tanggung jawab. Akuntansi tidak pernah benar-benar bebas nilai. Ia adalah bahasa yang menuturkan kehidupan ekonomi manusia.

Dalam paradigma positivistik yang mendominasi abad ke-20, ilmu pengetahuan dianggap sah hanya bila dapat diukur dan dijelaskan secara empiris. Akuntansi pun berusaha meniru model ilmu alam: menyingkirkan subjektivitas dan menonjolkan kuantifikasi. Teori keuangan modern menekankan hubungan sebab akibat antara rasio, laba, dan nilai pasar. Semua hal ini berangkat dari asumsi bahwa dunia ekonomi dapat dijelaskan secara objektif, layaknya hukum fisika.

Akuntansi sering kali dipersepsikan sebagai ilmu yang kaku, teknis, dan objektif sebuah sistem yang berfungsi untuk mencatat, mengukur, serta melaporkan aktivitas ekonomi perusahaan. Dalam paradigma dominan, akuntansi diperlakukan layaknya cabang dari ilmu alam sosial yang tunduk pada prinsip eksakta: angka harus tepat, laporan harus seimbang, dan hasilnya harus dapat diverifikasi secara empiris. Paradigma ini telah membentuk wajah akuntansi modern: ilmiah, positivistik, dan kuantitatif. Namun, di balik angka-angka yang tampak netral itu, terdapat dunia makna, nilai, bahkan pergulatan moral yang hidup. Akuntansi ternyata tidak hanya menceritakan pergerakan uang, melainkan juga kisah manusia di dalamnya tentang ambisi, tanggung jawab, kejujuran, dan bahkan spiritualitas. 

Di sinilah Wilhelm Dilthey (1833-1911) menghadirkan lensa baru. Sebagai filsuf Jerman yang dikenal sebagai pelanjut pemikiran Schleiermacher, sekaligus penghubung menuju Heidegger dan Gadamer, Dilthey menawarkan paradigma yang mengubah cara kita memahami ilmu sosial. Ia membedakan secara tegas antara ilmu alam (Naturwissenschaften) dan ilmu roh atau kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Jika ilmu alam menjelaskan dunia melalui sebab akibat, ilmu kemanusiaan berusaha memahami dunia melalui makna yang dihidupi manusia. Perbedaan ini tidak hanya bersifat metodologis, tetapi juga ontologis ia menyentuh cara manusia mengalami realitas. 

Dalam konteks akuntansi, pemikiran Dilthey mengingatkan bahwa sistem pencatatan dan pelaporan keuangan sesungguhnya adalah bagian dari ekspresi kehidupan manusia. Laporan keuangan bukanlah sekadar teks teknis, melainkan teks kehidupan yang menuturkan kisah ekonomi, moral, dan eksistensial. Maka, pendekatan hermeneutik terhadap akuntansi berusaha membaca angka sebagai bahasa kehidupan, bukan sekadar data kuantitatif. Ia menempatkan akuntansi sebagai ilmu kemanusiaan yang menafsirkan tindakan ekonomi manusia dalam horizon nilai dan makna. 

Dalam konteks akuntansi juga, ini berarti laporan keuangan bukan sekadar dokumen formal, tetapi teks kehidupan tempat manusia menulis pengalaman moral dan ekonominya. Ketika seorang akuntan menuliskan "utang," ia tidak hanya mencatat transaksi, tetapi juga menandai tanggung jawab. Ketika perusahaan melaporkan laba, ia sedang mengekspresikan nilai efisiensi, kesuksesan, atau bahkan ambisi. Maka, akuntansi bukan hanya ilmu pengukuran, melainkan ilmu pemaknaan: cara manusia memahami dan menafsir kehidupan ekonominya.

Epistemologi Hermeneutik: Dari Penjelasan Menuju Pemahaman

Dualitas Cara Mengetahui: Erklren dan Verstehen

Dilthey menegaskan bahwa pengetahuan manusia tidak bersifat tunggal. Ia membedakan antara dua cara mengetahui: menjelaskan (Erklren) dan memahami (Verstehen). Ilmu alam menjelaskan fenomena melalui hubungan sebab-akibat; ilmu kemanusiaan berusaha memahami makna dan nilai yang dihidupi manusia.

Dalam akuntansi, perbedaan ini sangat terasa. Penelitian keuangan kuantitatif umumnya menjelaskan hubungan antara variabel-variabel misalnya, bagaimana leverage memengaruhi nilai perusahaan. Namun, pendekatan ini tidak dapat menjawab pertanyaan yang lebih mendasar: mengapa seorang manajer memilih keputusan tertentu? apa makna laba bagi suatu komunitas bisnis? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membutuhkan pemahaman, bukan sekadar penjelasan.

Bagi Dilthey, pengetahuan manusia tidak bersifat tunggal. Ia membedakan dua cara mengetahui: menjelaskan (Erklren) dan memahami (Verstehen). Ilmu alam menjelaskan fenomena dengan hukum sebab-akibat; sedangkan ilmu manusia memahami kehidupan melalui makna yang dihayati. Kedua cara ini sama-sama rasional, tetapi rasionalitasnya berbeda. Jika ilmu alam mencari hukum universal, ilmu manusia mencari koherensi makna dalam konteks pengalaman hidup.

Dalam akuntansi, dualitas ini menjelaskan mengapa penelitian keuangan kuantitatif tidak pernah sepenuhnya menggambarkan kenyataan sosial di balik angka. Analisis statistik dapat menunjukkan korelasi antara leverage dan profitabilitas, tetapi tidak dapat menjelaskan mengapa seorang manajer memilih strategi tertentu, atau bagaimana nilai moral memengaruhi keputusan pelaporan. Di sinilah pendekatan hermeneutik mengambil tempat: ia tidak sekadar mencari penjelasan empiris, melainkan pemahaman batin.

Fisiologi dan Psikologi sebagai Metafora Epistemologis

Hermeneutika Dilthey dijelaskan dengan dua metafora epistemologis: fisiologi dan psikologi. Fisiologi menggambarkan cara mengetahui yang melihat objek dari luar. Seperti dokter yang mendiagnosis tubuh pasien secara empiris, paradigma positivistik dalam akuntansi memandang organisasi sebagai entitas yang bisa diukur dan dikontrol. Rasio keuangan, laba, dan arus kas menjadi indikator objektif dari "kesehatan" perusahaan.

Fisiologi menggambarkan cara mengetahui dari luar objek dipandang sebagai benda yang tunduk pada hukum mekanis. Dalam konteks akuntansi, paradigma ini tampak dalam pendekatan empiris-positivistik yang melihat perusahaan sebagai "tubuh ekonomi" yang dapat diukur kesehatannya lewat rasio keuangan.

Sebaliknya, psikologi menggambarkan cara memahami dari dalam. Bagi Dilthey, psikologi tidak sekadar mempelajari gejala mental, tetapi berusaha menghidupkan kembali pengalaman batin orang lain (nacherleben). Pengetahuan lahir dari empati, bukan sekadar observasi. Dalam akuntansi, ini berarti peneliti atau akuntan perlu memahami bagaimana pelaku ekonomi merasakan angka bagaimana laba dipahami sebagai hasil usaha dan tanggung jawab, bagaimana defisit dimaknai sebagai beban moral, dan bagaimana transparansi dipandang sebagai cerminan kejujuran.

Dengan cara ini, akuntansi hermeneutik menggeser posisi peneliti dari "pengamat netral" menjadi "penafsir yang terlibat." Ia mengandaikan empati upaya menghidupkan kembali pengalaman batin orang lain (nacherleben). Dalam akuntansi hermeneutik, peneliti tidak hanya meneliti angka, tetapi berusaha memahami bagaimana angka itu dihayati. Laporan keuangan dipandang sebagai ekspresi batin pelaku ekonomi simbol dari nilai, rasa tanggung jawab, bahkan pergulatan moral. Angka laba, misalnya, tidak hanya mencerminkan hasil usaha, tetapi juga nilai keberkahan atau keadilan yang dirasakan komunitas.

Rasionalitas Interpretatif: Ilmiah tanpa Positivistik

Dilthey menolak pandangan Auguste Comte yang menyatukan semua ilmu di bawah satu metode eksakta. Ia menegaskan bahwa pengetahuan tentang manusia tetap ilmiah meski tidak bersifat empiris universal. Rasionalitas dalam ilmu manusia terletak pada koherensi makna, bukan generalisasi statistik. Maka, penelitian akuntansi hermeneutik sah secara ilmiah jika ia mampu menyingkap struktur makna di balik tindakan ekonomi.

Dalam akuntansi, hal ini berarti penelitian hermeneutik tidak berperan sebagai pengamat netral, melainkan penafsir yang terlibat secara eksistensial. Ia menempuh jalan pemahaman (Verstehen) memasuki dunia hidup pelaku ekonomi untuk memahami makna di balik keputusan, bukan hanya hasil akhirnya. Dengan demikian, akuntansi hermeneutik membuka ruang bagi rasionalitas interpretatif: rasionalitas yang mengakui bahwa angka adalah simbol dari pengalaman manusia yang hidup, bukan data yang berdiri sendiri.

Kritik terhadap Positivisme dalam Akuntansi

Pendekatan Dilthey sekaligus menjadi kritik terhadap positivisme yang mendominasi akuntansi modern. Positivisme cenderung menyingkirkan nilai, seolah fakta ekonomi dapat berdiri sendiri tanpa konteks moral. Akibatnya, akuntansi terjebak dalam logika efisiensi dan kehilangan sisi kemanusiaannya.

Hermeneutika menawarkan koreksi mendasar: akuntansi bukan sekadar instrumen rasional untuk mengendalikan ekonomi, melainkan media komunikasi nilai dan makna sosial. Dengan memahami angka sebagai teks kehidupan, akuntansi dapat kembali pada hakikatnya sebagai ilmu kemanusiaan yang melayani keadilan, kejujuran, dan keseimbangan hidup.

Ontologi Akuntansi: Kehidupan sebagai Realitas

Akuntansi dalam Dunia Hidup (Lebenswelt)

Bagi Dilthey, realitas sosial tidak berdiri di luar manusia, melainkan hidup di dalam pengalaman manusia itu sendiri. Dunia manusia disebutnya Lebenswelt dunia hidup yang dihayati. Dunia ini penuh dengan nilai, perasaan, dan simbol.

Akuntansi, jika dilihat dari sudut pandang Lebenswelt, bukan sekadar alat teknis, tetapi bagian dari cara manusia menghayati kehidupannya. Pedagang tradisional yang menghitung rezeki, korporasi yang menyiapkan laporan tahunan, lembaga zakat yang mencatat amanah dana umat semuanya melakukan praktik akuntansi dalam horizon makna yang berbeda.

Artinya, realitas akuntansi tidak pernah netral. Ia selalu lahir dari konteks sosial, budaya, dan spiritual tertentu. Akuntansi hidup di dalam dunia nilai, bukan di luar kehidupan.

Dilthey memandang realitas sosial bukan sebagai entitas luar yang dapat diukur secara objektif, melainkan sebagai kehidupan itu sendiri (das Leben) yang harus dipahami dari dalam. Manusia hidup di dalam Lebenswelt dunia yang penuh makna, nilai, dan pengalaman. Dalam dunia ini, angka dan laporan akuntansi tidak pernah netral; mereka mencerminkan pengalaman hidup manusia ekonomi.

Akuntansi hidup di dalam konteks sosial historisnya. Dalam masyarakat pedagang tradisional, laba dimaknai sebagai "rezeki", tanda keberkahan yang mengandung nilai spiritual. Di dunia korporasi modern, laba menjadi indikator kinerja dan legitimasi publik. Sementara dalam ekonomi pesantren atau koperasi, laba bisa dipandang sebagai keseimbangan moral antara usaha dan doa, antara keuntungan pribadi dan kebermanfaatan sosial. Artinya, realitas akuntansi selalu bersifat inter-subjektif dan historis, tidak pernah universal.

Simbol sebagai Jejak Kehidupan

Dilthey melihat bahwa manusia mengekspresikan kehidupannya melalui simbol (Symbol). Simbol adalah bentuk lahir dari kehidupan batin. Bahasa, seni, bahkan angka adalah simbol dari pengalaman manusia.

Dalam akuntansi, angka-angka bukan sekadar data, melainkan simbol kehidupan ekonomi. Saldo kas bisa menjadi simbol rasa aman; laporan tahunan bisa menjadi simbol pengakuan; pajak bisa menjadi simbol tanggung jawab sosial. Angka-angka ini tidak bermakna sebelum ditafsirkan.

Maka, tugas akuntan hermeneutik adalah menafsir simbol, bukan hanya menghitung. Ia bertanya: apa makna di balik angka ini? nilai apa yang sedang diekspresikan? bagaimana masyarakat menafsirnya? Dengan begitu, akuntansi berubah dari sistem mekanis menjadi bahasa simbolik kehidupan.

Dalam hermeneutika Dilthey, kehidupan mengekspresikan dirinya melalui simbol (Symbol) dan ekspresi (Ausdruck). Simbol adalah jejak kehidupan batin yang tampil di dunia luar. Dalam akuntansi, simbol-simbol itu berupa angka, neraca, laporan tahunan, tanda tangan, dan berbagai ritual administratif. Masing-masing simbol memuat makna eksistensial.

Saldo kas, misalnya, dapat dimaknai sebagai simbol ketertiban dan rasa aman. Laporan tahunan bisa dibaca sebagai ekspresi keinginan perusahaan untuk diakui dan dikenang. Neraca moral pada lembaga sosial menjadi simbol keseimbangan antara materi dan spiritualitas. Maka, simbol-simbol akuntansi tidak sekadar alat komunikasi teknis, melainkan bentuk kehidupan yang menampakkan diri.

Ekspresi (Ausdruck): Bahasa Jiwa Sosial

Konsep penting lain dari Dilthey adalah Ausdruck ekspresi. Ekspresi adalah cara kehidupan batin menampakkan dirinya di dunia luar. Dalam akuntansi, setiap catatan keuangan adalah ekspresi moral dan sosial.

Laporan laba bukan hanya hasil perhitungan, tetapi ekspresi dari nilai kerja keras dan kejujuran. Neraca bukan sekadar daftar aset dan kewajiban, tetapi simbol keseimbangan moral antara hak dan tanggung jawab. Dengan demikian, akuntansi menjadi bahasa jiwa sosial ia menuturkan moralitas masyarakat yang melahirkannya.

Bagi Dilthey, ekspresi adalah jembatan antara batin dan dunia luar. Dalam konteks akuntansi, setiap pencatatan atau laporan merupakan ekspresi moral dan sosial. Di balik angka laba, terdapat keputusan-keputusan yang menyangkut kejujuran, tanggung jawab, dan niat baik. Laporan keuangan adalah bahasa jiwa sosial ia menuturkan etos, moralitas, bahkan spiritualitas masyarakat yang melahirkannya.

Akuntansi, dengan demikian, tidak netral secara ontologis. Ia merupakan ekspresi jiwa kolektif yang menandai bagaimana suatu masyarakat memaknai tanggung jawab ekonomi. Dalam masyarakat kapitalistik, ia mengekspresikan rasionalitas efisiensi; dalam masyarakat komunal, ia mengekspresikan solidaritas; dalam masyarakat religius, ia mengekspresikan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi.

Hubungan Ko-eksistensial antara Manusia dan Dunia Akuntansi

Dilthey menolak pandangan yang memisahkan manusia dari dunia. Manusia dan dunia saling menyingkap makna. Dalam akuntansi, angka tidak memiliki makna tanpa manusia yang menghayatinya. Angka "menjadi ada" ketika ditafsirkan.

Lebih jauh, akuntansi tidak hanya merekam realitas, tetapi turut menciptakan realitas sosial baru. Ketika sebuah laporan laba diterbitkan, ia mengubah cara publik memandang perusahaan, memengaruhi pasar, bahkan menggeser nilai moral di masyarakat. Akuntansi, dengan demikian, bukan hanya refleksi dunia ekonomi, tetapi juga kekuatan yang membentuknya.

Akuntansi sebagai Ekspresi Jiwa Historis

Setiap sistem akuntansi adalah produk sejarah. Akuntansi kolonial mengekspresikan logika kekuasaan, akuntansi koperasi mengekspresikan gotong royong, dan akuntansi syariah mengekspresikan keseimbangan spiritual. Semua sistem ini adalah ekspresi jiwa historis suatu bangsa.

Ontologi hermeneutik karenanya bersifat plural dan kontekstual. Tidak ada satu bentuk akuntansi yang universal, karena setiap masyarakat menulis kehidupannya dengan cara berbeda. Akuntansi adalah bagian dari sejarah moral umat manusia.

Aksiologi Hermeneutik: Nilai, Empati, dan Moralitas Angka

Dari Pengetahuan Menuju Nilai

Hermeneutika Dilthey tidak berhenti pada epistemologi dan ontologi. Ia juga mengandung dimensi aksiologi, yakni bagaimana pengetahuan tentang manusia selalu berhubungan dengan nilai. Bagi Dilthey, pemahaman bukan hanya proses intelektual, tetapi juga jalan etis untuk menghayati kehidupan. Dalam akuntansi, ini berarti bahwa setiap proses pencatatan dan pelaporan mengandung nilai moral: kejujuran, tanggung jawab, dan empati terhadap sesama.

Nilai Kehidupan (Lebenswert) dalam Akuntansi

Setiap sistem akuntansi mencerminkan nilai-nilai yang dominan. Akuntansi kapitalistik menekankan efisiensi dan pertumbuhan; akuntansi sosial menekankan tanggung jawab dan keadilan; akuntansi syariah menekankan keseimbangan spiritual. Angka, dengan demikian, bukan sekadar hasil kalkulasi, melainkan cermin nilai masyarakat yang memproduksinya.

Angka laba, misalnya, tidak hanya menyatakan keberhasilan ekonomi, tetapi juga menyiratkan pandangan hidup tentang apa yang dianggap "baik" dan "berhasil." Dengan membaca angka secara hermeneutik, kita dapat memahami nilai-nilai tersembunyi di balik sistem ekonomi modern.

Setiap praktik akuntansi merefleksikan nilai-nilai sosial yang hidup dalam masyarakat. Akuntansi korporasi kapitalistik menonjolkan nilai efisiensi dan pertumbuhan; akuntansi sosial menekankan tanggung jawab dan keadilan; sementara akuntansi religius menampilkan nilai keseimbangan moral dan spiritual. Angka, dengan demikian, tidak pernah netral. Ia membawa horizon nilai yang menuntun cara manusia memahami dunia ekonominya.

Peneliti hermeneutik tidak hanya bertanya "berapa besar laba?" tetapi juga "apa makna laba bagi komunitas ini?". Nilai menjadi orientasi pemahaman: ia menentukan arah di mana kehidupan ekonomi ingin dimengerti.

Empati (Einfhlung) sebagai Etika Pemahaman

Bagi Dilthey, memahami berarti berempati. Empati adalah kemampuan untuk menghidupkan kembali pengalaman orang lain. Dalam konteks akuntansi, empati menjadi fondasi etika profesional. Akuntan yang berempati tidak hanya mencari kebenaran formal, tetapi juga mempertimbangkan manusia di balik angka: pekerja, pemegang saham, dan masyarakat.

Auditor yang berempati memahami tekanan moral kliennya, bukan untuk membenarkan kesalahan, tetapi untuk melihat sisi kemanusiaan dalam dilema etis. Peneliti yang berempati tidak menilai dari luar, tetapi berusaha masuk ke horizon batin subjeknya. Dengan empati, akuntansi menjadi ilmu yang manusiawi.

Dilthey memperkenalkan konsep Einfhlung, yakni empati sebagai inti dari pemahaman manusia. Dalam akuntansi, empati berarti kemampuan untuk merasakan kehidupan orang lain di balik angka-angka. Akuntan yang berempati tidak hanya memahami data, tetapi juga memahami nasib manusia di balik data itu: pekerja, pelanggan, dan masyarakat.

Empati menjadi etika profesi yang mendalam: auditor yang berempati tidak hanya mencari kesalahan teknis, tetapi memahami tekanan moral yang dialami pelaku ekonomi. Peneliti yang berempati tidak menilai dari luar, tetapi berusaha masuk ke horizon batin subjek. Dengan empati, akuntansi menjadi ilmu yang manusiawi, bukan mekanis.

Angka sebagai Simbol Moral

Dalam hermeneutika, angka bukan realitas mati, tetapi simbol moral. Laba dapat dibaca sebagai hasil keadilan distributif, neraca sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban, pajak sebagai ekspresi solidaritas sosial.

Prinsip transparansi dan akuntabilitas menjadi bernilai bukan karena diwajibkan undang-undang, tetapi karena merupakan bentuk kejujuran eksistensial. Setiap laporan keuangan, dalam pandangan ini, adalah pernyataan moral kepada masyarakat.

Dalam perspektif aksiologis, angka adalah teks moral. Neraca dapat dibaca sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban; laba sebagai hasil keadilan distributif; pajak sebagai bentuk solidaritas sosial. Dengan demikian, angka bukan sekadar alat ukur, melainkan simbol moral yang menuntut tanggung jawab.

Prinsip transparansi dan akuntabilitas memperoleh makna baru: bukan hanya kewajiban hukum, melainkan wujud kejujuran eksistensial. Setiap angka yang dilaporkan adalah pernyataan moral pengakuan manusia di hadapan masyarakat.

Sintesis Filosofis: Akuntansi sebagai Bahasa Kehidupan

Dari uraian epistemologis, ontologis, dan aksiologis, dapat disimpulkan bahwa akuntansi hermeneutik Dilthey menempatkan angka sebagai bahasa kehidupan. Ia tidak lagi dilihat sebagai sistem teknis untuk mencatat transaksi, melainkan sistem simbolik yang menuturkan makna hidup manusia ekonomi.

  • Epistemologinya menolak reduksi empiris dan menekankan pemahaman makna.

  • Ontologinya memandang akuntansi sebagai bagian dari dunia hidup manusia.

  • Aksiologinya menegaskan bahwa setiap tindakan ekonomi berakar pada nilai dan empati.

Epistemologinya menolak reduksi empiris dan menekankan pemahaman makna (Verstehen). Ontologinya melihat akuntansi sebagai ekspresi dari dunia hidup (Lebenswelt). Aksiologinya menegaskan bahwa pemahaman sejati tidak mungkin tanpa nilai, empati, dan moralitas. Ketiganya berpadu dalam pandangan bahwa akuntansi adalah tindakan menulis kehidupan sebuah cara manusia untuk menandai eksistensinya melalui simbol ekonomi.

Dalam konteks modern, pendekatan ini menantang paradigma akuntansi yang terjebak dalam objektivitas angka. Ia mendorong lahirnya praktik dan riset akuntansi yang lebih reflektif: akuntansi sosial, akuntansi spiritual, dan akuntansi berbasis nilai. Di masa depan, profesi akuntan tidak cukup menjadi "penghitung laba," tetapi harus menjadi "penafsir makna kehidupan ekonomi."

Kesimpulan: Menemukan Kemanusiaan di Balik Angka

Hermeneutika Wilhelm Dilthey membuka jalan bagi akuntansi untuk kembali pada jati dirinya sebagai ilmu kemanusiaan. Ia mengingatkan bahwa di balik setiap angka ada cerita, di balik setiap laporan ada nilai, dan di balik setiap neraca ada kehidupan.

Akuntansi bukan hanya alat pengendali ekonomi, tetapi sarana manusia memahami tanggung jawab dan kebermaknaannya di dunia. Dengan membaca angka sebagai bahasa kehidupan, kita menemukan bahwa akuntansi bukan sekadar tentang uang, melainkan tentang manusia tentang bagaimana ia berjuang menulis kisahnya melalui simbol ekonomi dan moralitas.

Hermeneutika Wilhelm Dilthey memberikan dasar filosofis bagi lahirnya teori akuntansi yang manusiawi. Ia mengingatkan bahwa angka-angka yang kita baca setiap hari adalah simbol dari kehidupan yang dihayati. Akuntansi bukan sekadar ilmu tentang uang, melainkan tentang manusia tentang bagaimana kita memberi makna pada usaha, tanggung jawab, dan keseimbangan hidup.

Dengan membaca akuntansi secara hermeneutik, kita belajar bahwa angka memiliki jiwa, dan tugas akuntan bukan hanya menulis kebenaran teknis, tetapi juga mengungkap kebenaran hidup. Inilah panggilan etis ilmu akuntansi dalam horizon kemanusiaan yang lebih luas: menjadikan laporan keuangan bukan hanya alat pengendali, tetapi cermin nilai, empati, dan moralitas.

WHAT - Hakikat Teori Akuntansi Hermeneutik Wilhelm Dilthey?

Akuntansi dan Paradigma Kehidupan

Selama berabad-abad, akuntansi dikenal sebagai sistem yang berurusan dengan angka, transaksi, dan laporan. Ia dipandang sebagai mekanisme rasional untuk memastikan keteraturan dan akurasi dalam dunia ekonomi. Namun di balik kesan netral dan objektif itu, akuntansi sesungguhnya adalah cermin dari kehidupan manusia yang penuh nilai, perasaan, dan tanggung jawab.

Hermeneutika Wilhelm Dilthey membawa cara pandang baru: akuntansi bukan sekadar "ilmu hitung," tetapi ilmu tentang makna kehidupan ekonomi. Ia menempatkan manusia sebagai pusat dari segala proses pencatatan, pelaporan, dan interpretasi ekonomi. Karena angka bukanlah entitas mati, melainkan simbol dari realitas yang hidup realitas yang mengandung niat, nilai, dan pengalaman batin manusia.

Hermeneutika sebagai Jalan Memahami Kehidupan

Bagi Dilthey (1833--1911), ilmu tidak tunggal; ada dua jalan untuk mengetahui realitas:

  1. Ilmu Alam (Naturwissenschaften), yang menjelaskan fenomena melalui hukum sebab-akibat (Erklren).

  2. Ilmu Kemanusiaan (Geisteswissenschaften), yang memahami fenomena melalui makna dan pengalaman hidup (Verstehen).

Ilmu alam bekerja dengan jarak, sementara ilmu kemanusiaan bekerja dengan keterlibatan. Ilmu alam menuntut objektivitas, ilmu kemanusiaan menuntut empati. Dalam konteks ini, akuntansi seharusnya berada di sisi ilmu kemanusiaan: bukan karena ia tidak rasional, melainkan karena rasionalitasnya berbeda rasionalitas yang berakar pada makna, bukan sekadar kausalitas.

Dalam Geisteswissenschaften, Dilthey memandang manusia sebagai makhluk yang selalu berusaha memahami dirinya sendiri melalui ekspresi kehidupan: bahasa, seni, moralitas, dan juga tindakan ekonomi. Maka, sebagaimana seorang penafsir membaca teks sastra untuk memahami maknanya, seorang peneliti akuntansi hermeneutik membaca laporan keuangan untuk memahami cerita kehidupan yang diungkapkan lewat angka.

Akuntansi sebagai Ekspresi Kehidupan (Ausdruck des Lebens)

Hermeneutika Dilthey berpusat pada gagasan bahwa kehidupan mengekspresikan dirinya melalui simbol (Symbol) dan ekspresi (Ausdruck).
Dalam akuntansi, simbol-simbol itu hadir dalam bentuk angka, neraca, laporan laba rugi, atau tanda tangan auditor. Setiap angka adalah jejak kehidupan Spuren des Lebens yang menandai pertemuan antara dunia batin manusia dan dunia sosial.

Contohnya sederhana namun bermakna:

  • Saldo kas mencerminkan rasa aman dan stabilitas.

  • Neraca melambangkan keseimbangan moral antara hak dan kewajiban.

  • Laporan laba rugi mengisahkan perjuangan, risiko, bahkan keberkahan.

  • Audit opinion adalah ekspresi dari tanggung jawab dan kepercayaan sosial.

Dalam pandangan ini, akuntansi adalah bahasa kehidupan (Sprache des Lebens). Ia berbicara bukan dengan kata, tetapi dengan angka. Ia bukan hanya alat administrasi, melainkan wujud dari kesadaran moral manusia yang ingin hidup teratur, transparan, dan bertanggung jawab.

Ontologi Hermeneutik: Dunia Hidup (Lebenswelt)

Bagi Dilthey, realitas manusia bukanlah sesuatu yang berdiri di luar diri manusia, tetapi dunia yang dihayati dunia pengalaman, perasaan, dan makna. Dunia ini disebutnya Lebenswelt (dunia hidup).

Dalam dunia hidup, akuntansi hadir bukan sebagai alat eksternal, melainkan bagian dari pengalaman eksistensial manusia ekonomi. Laporan keuangan, bagi seorang akuntan, bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi juga ritual sosial: bentuk komunikasi antara individu, organisasi, dan masyarakat.

Dengan demikian, ontologi akuntansi hermeneutik adalah ontologi kehidupan. Akuntansi tidak dapat dipahami sebagai benda mati, melainkan sebagai aktivitas hidup yang mengekspresikan nilai dan kesadaran manusia.

WHY - Mengapa Hermeneutika Penting bagi Akuntansi?

Krisis Positivisme dalam Akuntansi Modern

Paradigma dominan akuntansi modern bersumber dari positivisme sebuah cara berpikir yang menekankan pengukuran, prediksi, dan objektivitas. Positivisme berasumsi bahwa kebenaran hanya dapat diperoleh melalui data empiris dan hubungan sebab-akibat. Dalam paradigma ini, akuntansi diperlakukan seperti ilmu alam sosial: mengukur perilaku ekonomi, menguji hipotesis, mencari korelasi statistik.

Namun pendekatan itu, meski bermanfaat, menyisakan kekosongan filosofis. Ia mengabaikan makna. Akuntansi menjadi terlalu mekanis, kehilangan sentuhan moral dan sosialnya. Kebenaran diukur dari konsistensi angka, bukan dari kejujuran di balik angka. Padahal krisis keuangan, manipulasi laporan, dan korupsi justru berakar pada hilangnya kesadaran nilai dan tanggung jawab.

Dilthey menolak pandangan seperti ini. Bagi dia, manusia tidak dapat dipahami sebagai objek luar. Setiap tindakan ekonomi harus dimengerti dalam konteks historis dan moral. Maka, pendekatan hermeneutik menawarkan jalan penyembuhan bagi akuntansi yang kehilangan kemanusiaannya.

Dualitas Erklren dan Verstehen dalam Akuntansi

Dalam ilmu akuntansi, Erklren tampak dalam upaya menjelaskan hubungan antarvariabel misalnya, bagaimana leverage memengaruhi profitabilitas. Tapi Verstehen melangkah lebih dalam: ia bertanya mengapa pelaku ekonomi mengambil keputusan tertentu, bagaimana mereka memaknai laba, utang, atau tanggung jawab sosial.

Sebagai contoh, dua perusahaan dapat melaporkan laba bersih yang sama, tetapi maknanya bisa berbeda:

  • Bagi korporasi kapitalistik, laba adalah legitimasi publik.

  • Bagi lembaga sosial, laba adalah sarana berbagi kesejahteraan.

  • Bagi pesantren, laba adalah simbol keberkahan dan keseimbangan spiritual.

Pendekatan hermeneutik mengajarkan bahwa angka tidak pernah netral. Ia memuat nilai, niat, dan konteks sosial-historis yang membentuknya.

Krisis Nilai dan Hilangnya Empati

Akuntansi yang terjebak dalam logika objektivitas kehilangan empati. Ia berhenti melihat manusia di balik laporan. Dalam situasi ini, akuntan bisa mematuhi standar etika secara formal, namun gagal secara moral.

Hermeneutika Dilthey mengembalikan dimensi empatik dalam akuntansi melalui konsep Einfhlung (empati)  kemampuan untuk memahami kehidupan orang lain dari dalam. Bagi akuntan, empati berarti menyadari bahwa setiap angka merepresentasikan kehidupan seseorang: gaji pekerja, nasib investor, kesejahteraan masyarakat, bahkan kelestarian lingkungan.

Dengan empati, akuntansi berubah dari sekadar sistem pengendalian menjadi alat komunikasi moral. Ia bukan lagi sekadar soal "benar atau salah," tetapi soal "baik dan adil."

Kebutuhan Etika dan Spiritualitas dalam Akuntansi

Akar hermeneutika Dilthey tidak hanya epistemologis, tetapi juga aksiologis. Ia berangkat dari kesadaran bahwa ilmu tanpa nilai hanyalah mekanisme kosong. Dalam akuntansi, nilai menjadi jantung kehidupan ilmiah.

Nilai (Lebenswert) yang dimaksud bukan sekadar efisiensi ekonomi, tetapi kebaikan hidup: kejujuran, keseimbangan, dan tanggung jawab sosial. Ketika akuntansi dijalankan tanpa nilai, ia kehilangan legitimasi moralnya. Sebaliknya, ketika ia disertai nilai, akuntansi menjadi bahasa etika kehidupan, tempat manusia menulis komitmen moralnya kepada sesama.

HOW - Bagaimana Hermeneutika Diterapkan dalam Akuntansi?

Menafsir Angka sebagai Teks Kehidupan

Dalam pandangan hermeneutik, laporan keuangan adalah teks yang harus dibaca, bukan hanya dihitung.

  • Neraca bisa ditafsir sebagai simbol keseimbangan antara hak dan kewajiban.

  • Laporan laba rugi dapat dibaca sebagai narasi perjuangan manusia melawan risiko.

  • Laporan arus kas menceritakan dinamika hidup antara stabilitas dan ketidakpastian.

Menafsir angka berarti menyingkap makna di baliknya. Dengan cara ini, akuntansi tidak berhenti pada data, tetapi menjadi refleksi moral dan eksistensial.

Akuntan dan Peneliti sebagai Penafsir (Interpreter)

Dalam paradigma hermeneutik, akuntan dan peneliti bukan sekadar pengamat, tetapi penafsir. Mereka membaca dunia ekonomi dengan kesadaran historis dan moral.

Peneliti hermeneutik tidak hanya mengumpulkan data, tetapi berusaha memahami konteks di mana data itu muncul. Ia mempraktikkan Verstehen memasuki dunia makna pelaku ekonomi. Akuntan yang hermeneutik, pada gilirannya, tidak hanya menghitung laba, tetapi menafsirnya sebagai bentuk tanggung jawab dan nilai hidup.

Integrasi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi

Pendekatan hermeneutik bekerja secara menyatu dalam tiga lapisan:

  1. Epistemologi: pengetahuan akuntansi diperoleh melalui pemahaman (Verstehen), bukan sekadar pengukuran.

  2. Ontologi: realitas akuntansi dipahami sebagai kehidupan yang dihayati (Lebenswelt), bukan entitas luar.

  3. Aksiologi: setiap tindakan akuntansi memiliki makna moral, empatik, dan nilai kehidupan.

Integrasi ini menjadikan akuntansi sebagai ilmu yang utuh ilmiah sekaligus manusiawi. Ia tidak menolak angka, tetapi menghidupkan kembali makna di balik angka.

Akuntansi sebagai Bahasa Moral dan Sosial

Akhirnya, hermeneutika membawa akuntansi menuju kedalaman yang baru: angka sebagai bahasa moral.
Ketika perusahaan melaporkan laba, ia sedang berbicara kepada masyarakat: "Inilah hasil kerja kami, inilah tanggung jawab kami."
Ketika auditor menandatangani opini, ia meneguhkan janji kejujuran kepada publik. Ketika pemerintah menetapkan standar akuntansi, ia mengatur bukan hanya teknik pelaporan, tetapi juga perilaku moral dalam ekonomi. Dengan kesadaran hermeneutik, akuntansi menjadi media dialog antara manusia dan masyarakat, antara nilai ekonomi dan nilai kemanusiaan.

KESIMPULAN   Akuntansi sebagai Bahasa Kehidupan

Hermeneutika Wilhelm Dilthey mengajarkan bahwa pengetahuan sejati lahir dari pemahaman, bukan sekadar pengukuran mekanis. Dalam konteks akuntansi, hal ini berarti angka dan laporan keuangan bukan hanya data teknis, melainkan simbol kehidupan manusia yang sarat makna. Setiap transaksi, setiap laba atau rugi, setiap catatan kas adalah jejak dari interaksi manusia dengan nilai, tanggung jawab, dan waktu.

Akuntansi hermeneutik menempatkan manusia sebagai pusat. Ia mengingatkan bahwa di balik setiap angka ada cerita—tentang kerja keras, keputusan moral, pengorbanan, dan aspirasi. Angka menjadi bahasa yang menuturkan moralitas, kejujuran, dan empati, bukan sekadar kebenaran aritmetika. Laporan keuangan, dengan cara ini, menjadi teks moral yang dapat dibaca untuk memahami dinamika nilai, niat, dan eksistensi ekonomi.

Dengan pendekatan ini, akuntansi tidak hanya mengukur, tetapi menafsirkan dan merefleksikan kehidupan. Ia menjadi media komunikasi antara individu, organisasi, dan masyarakat sebuah dialog antara ekonomi dan etika. Akuntansi yang hermeneutik membuka ruang bagi kesadaran sosial, empati profesional, dan tanggung jawab moral. Di sinilah letak transformasi yang paling penting: dari alat administratif menjadi bahasa moral dan sosial yang hidup.

Akhirnya, akuntansi yang berlandaskan hermeneutika adalah jembatan antara rasionalitas dan kemanusiaan. Ia mengingatkan bahwa di balik angka selalu ada manusia, di balik laporan selalu ada cerita, dan di balik setiap keputusan akuntansi selalu ada pertimbangan moral. Dengan demikian, akuntansi tidak hanya menghitung kebenaran, tetapi menafsirkan kebaikan, menenun makna, dan meneguhkan nilai-nilai yang mendasari kehidupan bersama.

Refleksi filosofis terakhir: Hermeneutika Dilthey menuntun akuntan untuk tidak hanya menjadi penjaga angka, tetapi juga penjaga moralitas, penjaga cerita manusia, dan penyambung jembatan antara kehidupan ekonomi dan nilai-nilai kemanusiaan. Akuntansi, pada akhirnya, adalah bahasa kehidupan yang berbicara tentang kebaikan, kejujuran, dan tanggung jawab.

Teori akuntansi hermeneutik memulihkan keseimbangan antara rasionalitas dan kemanusiaan. Ia mengajak kita melihat akuntansi bukan sekadar alat kontrol ekonomi, tetapi bahasa kehidupan yang menuturkan nilai, empati, dan tanggung jawab.

Melalui konsep Verstehen, Lebenswelt, Symbol, dan Ausdruck, Dilthey menunjukkan bahwa akuntansi adalah bagian dari kehidupan yang dihayati manusia. Ia bukan sekadar sistem pencatatan transaksi, tetapi tindakan menulis kehidupan—ekspresi moral dan spiritual manusia ekonomi.

Ketika akuntansi dipahami secara hermeneutik, angka menjadi bahasa kehidupan: ia berbicara tentang kejujuran, tanggung jawab, dan nilai. Dengan demikian, akuntan tidak lagi sekadar teknisi yang menghitung, tetapi penafsir makna kehidupan yang menjaga keseimbangan antara kebenaran dan kemanusiaan.

Di balik setiap angka ada kehidupan, di balik setiap laporan ada cerita, dan di balik setiap keputusan ada moralitas.
Dan di situlah akuntansi menemukan kembali jiwanya: bukan hanya menghitung kebenaran, tetapi memahami kebaikan.

Daftar Pustaka

  1. Dilthey, W. (1989). Selected works: The formation of the historical world in the human sciences (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds. & Trans.). Princeton University Press.

  2. Dilthey, W. (2002). Introduction to the human sciences (R. A. Makkreel & F. Rodi, Trans.). Princeton University Press.

  3. Habermas, J. (1987). The theory of communicative action (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

  4. Kothari, C. R. (2004). Research methodology: Methods and techniques (2nd ed.). New Age International.

  5. Tinker, A., Merino, B., & Neimark, M. (1982). The normative origins of positive theories: Ideology and accounting thought. Accounting, Organizations and Society, 7(2), 167–200.

  6. Miller, P. (1990). On the epistemology of accounting. Accounting, Organizations and Society, 15(5), 443–456.
  7. Laughlin, R. (1995). Methodological themes: Empirical research in accounting: Alternative approaches and a case for “Middle Range” thinking. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 8(1), 63–87.
  8. Hopwood, A. G. (2007). Whither accounting research? The Accounting Review, 82(5), 1365–1374.
  9. Paton, W. A., & Littleton, A. C. (1940). An introduction to corporate accounting standards. American Accounting Association.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun