1. Kebebasan Negatif (Negative Liberty) Kebebasan negatif merujuk pada ketiadaan paksaan atau campur tangan dari pihak luar, khususnya negara atau otoritas lain, dalam kehidupan individu. Ini adalah "kebebasan dari" (freedom from). Tokoh-tokoh seperti Isaiah Berlin, Robert Nozick, John Locke, dan Tibor Machan adalah penganut utama pandangan ini.
- Isaiah Berlin: Tokoh yang secara eksplisit membedakan kedua konsep kebebasan. Baginya, kebebasan negatif adalah bebas dari paksaan eksternal, seperti larangan negara atau tekanan sosial, menekankan pentingnya ruang pribadi yang tidak boleh diganggu.
- Robert Nozick: Seorang libertarian yang sangat menekankan kebebasan negatif sebagai hak individu untuk tidak diganggu. Ia berpendapat satu-satunya peran sah negara adalah melindungi hak-hak dasar individu (kehidupan, kebebasan, properti), menolak redistribusi kekayaan secara paksa karena melanggar kebebasan negatif atas kepemilikan.
- John Locke: Pendiri liberalisme klasik yang menyatakan manusia memiliki hak alamiah atas kehidupan, kebebasan, dan properti, dan negara dibentuk hanya untuk melindungi hak-hak ini. Kebebasan berarti tidak tunduk pada kehendak orang lain secara sewenang-wenang.
- Tibor Machan: Filsuf libertarian kontemporer yang berpendapat kebebasan adalah kondisi dasar bagi kehidupan moral, dan negara hanya boleh melindungi hak, bukan menyediakan kebutuhan individu. Ia menegaskan kebebasan negatif harus dijamin sepenuhnya oleh negara.
Dalam konteks manajemen pajak, kebebasan negatif berarti perusahaan berhak mengatur pajak mereka secara efisien (tax planning) karena pajak progresif dan redistributif dianggap bentuk paksaan yang bertentangan dengan hak kepemilikan pribadi. Keputusan likuidasi atau merger dipandang sebagai hak otonom pemilik dan pemegang saham yang tidak boleh dibatasi negara kecuali melanggar hak pihak lain. Peran negara seharusnya hanya sebagai penjaga hukum dan hak properti, bukan pengatur pasar, dengan intervensi hanya sah jika mencegah pelanggaran hak orang lain, bukan demi redistribusi atau tujuan moral kolektif.
2. Kebebasan Positif (Positive Liberty) Kebebasan positif berkaitan dengan kebebasan untuk mengaktualisasikan diri, menjadi agen dari tindakan sendiri, atau menjadi tuan atas diri sendiri. Ini adalah "kebebasan untuk" (freedom to). Tokoh-tokoh seperti Jean-Jacques Rousseau, G.W.F. Hegel, T.H. Green, dan Charles Taylor adalah penganut utama pandangan ini.
- Jean-Jacques Rousseau: Kebebasan sejati berarti hidup sesuai dengan hukum yang dibuat sendiri melalui "kehendak umum" (volont gnrale), di mana individu benar-benar bebas hanya jika tunduk pada kepentingan kolektif.
- G.W.F. Hegel: Kebebasan adalah realisasi kehendak bebas dalam kerangka sosial dan historis melalui institusi seperti keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Negara bukan penindas kebebasan, melainkan sarana mewujudkannya secara nyata.
- T.H. Green: Mendefinisikan kebebasan sebagai kemampuan untuk mengejar dan merealisasikan tujuan moral yang benar, yang memerlukan dukungan dari masyarakat dan negara. Peran negara adalah memberdayakan individu melalui pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
- Charles Taylor: Mengkritik kebebasan negatif yang menyederhanakan manusia. Baginya, kebebasan positif berarti kemampuan untuk menjalani kehidupan bermakna dan otentik, yang hanya bisa terwujud jika masyarakat memberi ruang bagi pengembangan identitas dan ekspresi budaya, menekankan pentingnya pengakuan sosial.
Dalam konteks pajak, kebebasan positif memandang pajak bukan sebagai batasan, melainkan sebagai sarana untuk membebaskan individu dan masyarakat dari kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakmampuan mengakses hak dasar. Pajak yang progresif dan redistributif dianggap perlu agar semua warga negara memiliki kemampuan yang setara untuk berkembang. Pada likuidasi, keputusan tidak semata hak pemilik modal, tetapi harus mempertimbangkan dampak sosial seperti PHK massal atau kerusakan komunitas. Rousseau dan Taylor akan menilai bahwa kebijakan likuidasi seharusnya tunduk pada kepentingan umum dan nilai komunitas. Untuk merger, kebebasan positif menuntut agar merger tidak hanya efisien ekonomi, tetapi juga berkontribusi pada tujuan sosial seperti inovasi dan stabilitas tenaga kerja, dan menolak merger yang merugikan pekerja dan masyarakat.
Diskursus Kritik Pajak dalam Likuidasi dan Merger: Tarik Ulur Kebebasan
Perspektif kebebasan negatif dan positif menawarkan sudut pandang yang kontras dalam mengkritisi kebijakan pajak pada likuidasi dan merger.
Dari Perspektif Kebebasan Negatif: Kritik pajak dari perspektif kebebasan negatif berakar pada prinsip non-intervensi.
- Pajak yang Tinggi: Beban PPh Badan atas laba likuidasi atau PPh Final atas dividen sisa harta, serta potensi PPh Final atas pengalihan aset dalam merger (jika tidak disetujui DJP), dapat dilihat sebagai bentuk pembatasan atas kebebasan perusahaan untuk mengelola kekayaannya. Nozick akan berargumen bahwa pajak redistributif adalah pelanggaran hak milik, sehingga memaksa perusahaan membayar pajak atas keuntungan transaksi yang sah adalah mengurangi kebebasan mereka.
- Regulasi yang Kaku: Syarat ketat untuk mendapatkan pengecualian PPh dalam merger (Pasal 10 ayat (3) UU PPh) yang memerlukan persetujuan DJP dan alasan bisnis yang kuat, dapat dianggap sebagai intervensi berlebihan. Locke mungkin akan berargumen bahwa kebijakan bisnis bebas (termasuk merger dan likuidasi) adalah ekspresi dari kebebasan kepemilikan dan pajak yang tidak berdasarkan persetujuan dianggap tirani.
- Birokrasi Administratif: Proses panjang dan persyaratan dokumen untuk pencabutan NPWP atau permohonan pengecualian pajak (akta pembubaran/merger, laporan keuangan, surat pernyataan) bisa dilihat sebagai hambatan birokratis yang mengurangi efisiensi dan kebebasan bertransaksi. Berlin akan mengkritik regulasi fiskal yang terlalu mengikat atau menghambat keputusan bisnis.
Dengan demikian, dari sudut pandang kebebasan negatif, kritik pajak dalam likuidasi dan merger seringkali menyerukan deregulasi, pengurangan beban pajak, dan penghormatan terhadap otonomi keputusan bisnis.
Dari Perspektif Kebebasan Positif: Kritik pajak dari perspektif kebebasan positif berakar pada prinsip pemberdayaan dan tanggung jawab sosial.
- Penghindaran Pajak: Jika perusahaan melakukan merger hanya untuk tujuan menghindari pajak (shell merger), meskipun mungkin legal secara formal, tindakan ini akan dikritik keras dari perspektif kebebasan positif. Rousseau akan melihat ini sebagai pengabaian "kehendak umum" untuk kebaikan bersama, di mana pajak seharusnya menjadi ekspresi keadilan sosial.
- Dampak Sosial Likuidasi: Likuidasi perusahaan yang berujung pada PHK massal tanpa pertimbangan kompensasi atau program transisi yang memadai, akan dianggap melanggar prinsip kebebasan positif. T.H. Green akan berargumen bahwa negara dan perusahaan memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kondisi di mana semua warga bisa hidup bermoral dan baik, yang berarti mendukung kesejahteraan pekerja.
- Konsentrasi Kekayaan/Monopoli: Merger yang berpotensi menciptakan monopoli atau konsentrasi kekayaan tanpa kontribusi yang adil kepada masyarakat luas akan menjadi sasaran kritik. Hegel akan menolak merger yang memecah tatanan sosial dan tidak memperkuat institusi yang etis. Charles Taylor menekankan bahwa kebijakan fiskal dan korporasi harus memungkinkan keberlanjutan komunitas dan nilai bersama, sehingga merger harus mempertimbangkan dampak terhadap persaingan usaha dan UMKM lokal.
Dengan demikian, dari sudut pandang kebebasan positif, kritik pajak dalam likuidasi dan merger menyerukan regulasi yang lebih kuat, penegakan hukum yang transparan, dan memastikan bahwa transaksi korporasi besar turut berkontribusi pada tujuan sosial dan pembangunan inklusif.
Sintesis: Mencari Keseimbangan dalam Kebijakan Pajak