Mohon tunggu...
Nenden SuryamanahAnnisa
Nenden SuryamanahAnnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Hanya seseorang yang sedang belajar menulis dan belajar menyampaikan opininya lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kau dan Segala Kesakitannya

19 Juli 2021   19:55 Diperbarui: 19 Juli 2021   20:02 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ayah kan sudah bilang kalau teman lelaki kamu itu bukan anak baik. Dia tidak bertanggung jawab, masa iya bawa anak gadis main sampai jam 7 malam!"

"Temen Kei pergi main sama temennya sampe jam 9, orang tuanya ga marah. Lagian kita cuman jalan-jalan ajah ayah, kenapa sih cuman gara-gara itu ayah benci banget sama dia?" kamu membalas dengan nada yang lebih tinggi, diiringi isak tangis. Ayah tak langsung menjawab, ada jeda beberapa detik, ia terlihat sedang berpikir, mencari kalimat yang tepat.

"karna dia membawa pengaruh buruk buat kamu, lihat nilai sekolahmu jadi jelek. Biasanya kamu dapat peringkat satu, tapi semester ini, setelah kenal dengan lelaki itu, kamu hanya dapat peringkat tiga!" sebelum kamu membantahnya lagi, Ibu menarik tangan ayah, menyuruhnya berhenti memarahimu. Lantas mereka masuk ke dalam rumah. Meninggalkanmu yang masih belum terima dimarahi.

Sembari menatap cermin kamu menanyakan banyak hal pada pantulanmu itu. Mengapa ayah berubah? ia seperti tak lagi memahamiku. Apa dia sudah tidak menyayangiku? Dia selalu saja membuat teman lelaki menjauh karna ketakutan. Apa dia tidak pernah muda? 

Dia juga tak pernah memberi hadiah untukku yang selalu juara satu, dia tidak pernah peduli. Tapi lihat sekarang dia memarahiku hanya karena turun dua peringkat? Apa dia tak bisa mengapresiasiku sekali saja? bukankah dibanding teman yang lain aku tetap unggul? Tidak bisakah dia bersyukur memilikiku? Kamu terlihat sangat marah malam itu. Bahkan kamu memutuskan tidur di sini. Semalaman kamu terus mempertanyakan : Apakah ayah tidak menyangiku lagi?

Hari-hari berikutnya kamu semakin menjaga jarak dengan Ayah. Canda tawa yang biasanya mengiringi percakapan kalian menguap begitu saja. kamu hanya menimpali candaan Ayah dengan tersenyum seadanya atau bahkan jika kamu terlihat sedang kesal, kamu hanya berlalu tak menanggapi. 

Atau saat Ayah bertanya tentang sekolah dan tentang hasil ujianmu, kamu akan menjawabnya dengan sangat ketus. Malamnya di rumah pohon ini, kamu kembali berdialog dengan pantulanmu di cermin.

"Lihat! Ayah hanya membebaniku dengan segala ekspetasinya. Dia selalu ingin aku menjadi nomor satu tanpa memberi jatah gagal. Menyebalkan!"

Semenjak malam itu kamu seperti membuat benteng besar antara kalian berdua. Dengan pintu baja yang dikunci dari dalam. Ayah, di sisi luar hanya bisa mengetuk, mencoba merayumu untuk membukanya. Tapi entah mengapa kamu malah menambah gembok setiap kali ketukan lembut itu terdengar.

Jam setengah tujuh malam, Ayah menelponmu yang masih ada di luar. Berkali-kali tersambung, berkali-kali juga diputus. Ayah melirik bendera kuning yang dipasang di depan gerbang. Matanya memerah, air mata sudah menggunuk di pelupuk, tapi ia tetap menahannya agar tidak keluar. 

Jam delapan malam kamu baru sampai di rumah. Suara dengung lantunan Alquran terdengar dari sana. Kamu berlari ke ruang tengah, menerobos barisan ibu-ibu yang duduk di atas karpet. Suara tangismu serta teriakan 'ibu' terdengar sampai ke halaman hingga tiga jam ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun