Pertengahan bulan lalu, saya didatangi salah seorang teman yang bekerja sebagai server di salah satu kafe. Usianya baru 20 tahun. Dengan wajah ragu-ragu, mendekat dan duduk di seberang saya yang sedang sibuk dengan laptop. Awalnya, saya mengira hanya ingin mengobrol ringan seperti biasanya. Tapi kali ini berbeda.
"Bang, bisa minta tolong bantuin daftarin akun SNPMB buat daftar SNBT? Udah tahun terakhir ini, mau coba dulu, barangkali rezeki."
Saya mengangkat kepala, sedikit terkejut. Dia bukan tipe orang yang banyak cerita tentang rencana masa depannya. Saya tahu dia sudah lama bekerja di kafe ini, meninggalkan bangku kuliah sejak lulus SMA.
Yaa, dia gap year, akan sangat menyulitkan baginya karena tidak biasa berurusan dengan administrasi semacam ini.
"Udah beri tahu keluarga untuk ikut UTBK?"
"Gak perlu, Bang. Nanti aja kalau udah keterima di kampus. Toh sudah setahun lebih di perantauan, mereka juga taunya kerja di sini."
Saya mengangguk pelan, menahan komentar. Di satu sisi, saya senang karena dia masih punya semangat untuk kuliah. Tapi di sisi lain, ada yang mengganjal. Kenapa harus diam-diam? Kenapa tidak memberi tahu keluarga? Bukankah seharusnya orang tua menjadi pendukung utama dalam keputusan besar seperti ini?
Bukan pertama kalinya saya mendengar cerita seperti ini. Banyak anak di luar sana yang berusaha maju sendirian, bukan karena mereka ingin, tapi karena mereka merasa itu satu-satunya pilihan. Ada ketakutan untuk jujur, takut dilarang, diremehkan, atau dianggap tidak mampu.
Ada kecemasan bahwa impian mereka akan dipatahkan dengan alasan-alasan yang sulit dibantah, berujung pada debat panjang yang akhirnya tetap berakhir dengan kata "gak usah". Pasrah karena sudah berkali-kali mencoba terbuka, tapi hasilnya tetap sama "gak didengar, cuma dihakimi."
Hubungan dalam keluarga seharusnya bukan cuma soal siapa yang lebih tua, siapa yang lebih tahu, atau siapa yang lebih berhak menentukan. Tapi sering kali, realitas berkata lain. Anak diharapkan untuk menurut tanpa banyak bertanya, sementara orang tua merasa sudah seharusnya dipatuhi tanpa perlu memberi alasan.
Komunikasi yang terjadi lebih sering berupa instruksi ketimbang diskusi. Begitu anak mulai mempertanyakan sesuatu atau punya pemikiran sendiri, respons yang muncul justru berupa kalimat seperti "kamu masih kecil", "Bapak sama Ibu lebih tahu yang terbaik buat kamu", atau yang lebih tajam lagi, "jangan sok tau".Â
Dalam kondisi seperti ini, wajar kalau banyak anak akhirnya memilih diam dan mengambil jalan mereka sendiri, meskipun itu berarti berjalan sendirian. Â
Salah satu hal yang sering kali dilupakan adalah bahwa kedekatan emosional dalam keluarga bukan sesuatu yang otomatis ada hanya karena adanya hubungan darah. Itu harus dibangun, dijaga, dan dipahami. Sama seperti hubungan persahabatan atau pernikahan, keluarga juga butuh komunikasi yang sehat.
Sayangnya, banyak orang tua menganggap bahwa karena mereka telah membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, maka itu sudah cukup untuk menjamin bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Kenyataannya, perhatian bukan hanya tentang uang sekolah yang dibayarkan tepat waktu atau makanan yang selalu tersedia di meja.
Lebih dari itu, perhatian adalah tentang ada atau tidaknya ruang untuk anak merasa aman berbicara, mengungkapkan pendapat, dan merasa bahwa mereka bukan sekadar bagian dari keluarga, tapi benar-benar diterima sebagai individu yang punya pemikiran sendiri. Â
Banyak orang tua yang menuntut anak untuk terbuka, tapi lupa bertanya apakah mereka sendiri sudah menjadi tempat yang nyaman untuk didatangi? Anak bukan properti yang bisa diatur sesuka hati. Mereka bukan sekadar perpanjangan mimpi orang tua yang harus berjalan di jalur yang sudah ditentukan.
Setiap anak punya keinginan, ketakutan, dan jalan yang ingin mereka ambil. Kalau sejak kecil mereka tumbuh dalam lingkungan yang selalu menekan dan membatasi, jangan heran kalau mereka akhirnya lebih memilih mencari dukungan dari orang lain di luar rumah.
Tidak sedikit kasus di mana anak akhirnya lebih dekat dengan teman atau bahkan orang asing di internet dibandingkan keluarganya sendiri. Bukan karena mereka tidak menyayangi orang tua, tapi karena di luar sana mereka merasa lebih didengar, lebih dihargai, dan lebih bisa menjadi diri sendiri tanpa takut disalahkan.
Banyak orang tua yang mengeluh, "Kenapa anak sekarang susah diatur?" Tapi pertanyaan yang lebih tepat adalah, "Apakah selama ini kita sudah mendengarkan mereka?" Bukankah lebih baik mendampingi daripada sekadar mengontrol?
Realitas yang menyedihkan adalah banyak anak yang tumbuh besar dengan perasaan bahwa mereka hanya "diharuskan"Â menjadi sesuatu, bukan diberi kesempatan untuk mencari jati diri mereka sendiri. Mereka merasa bahwa segala yang mereka lakukan harus sesuai dengan ekspektasi keluarga, dan jika tidak, maka mereka dianggap gagal.
Padahal, zaman sudah berubah. Pekerjaan yang dulu dianggap tidak menjanjikan, sekarang justru menjadi profesi yang menjanjikan masa depan cerah. Tapi masih banyak orang tua yang terjebak dalam pola pikir lama, menganggap bahwa kesuksesan hanya bisa diraih melalui jalur yang mereka yakini benar.
Kita sering melihat pemberitaan publik tentang anak yang meninggalkan orang tua di masa tua, membiarkan mereka sendirian tanpa perhatian. Tentu saja, ini bukan sesuatu yang bisa dibenarkan. Tapi sebelum buru-buru menyalahkan, ada baiknya melihat ke belakang.
Bagaimana pola komunikasi yang dibangun selama ini? Apakah kedekatan itu benar-benar ada, atau hanya sekadar hubungan formalitas antara orang tua dan anak? Banyak anak yang tetap setia merawat orang tua mereka di masa tua, bukan karena kewajiban, tapi karena mereka merasa dihargai sejak kecil.
Sebaliknya, ada juga yang memilih menjauh bukan karena mereka jahat, tapi karena mereka merasa tidak pernah benar-benar memiliki hubungan emosional yang erat sejak awal.
Kedekatan dalam keluarga bukan sesuatu yang bisa dipaksakan hanya dengan embel-embel "kita satu darah". Itu harus diperjuangkan dan dijaga. Tidak bisa hanya mengandalkan status sebagai orang tua untuk menuntut dihormati tanpa memberikan ruang bagi anak untuk didengar.
Jika ingin anak terbuka, maka orang tua harus menjadi tempat yang nyaman untuk berbagi, bukan hanya tempat yang memberi perintah. Jika ingin anak tetap berada di sisi keluarga, maka mereka harus merasa diterima apa adanya, bukan hanya ketika mereka sesuai dengan harapan. Â
Ketika anak merasa dihargai, mereka tidak akan takut untuk bercerita. Ketika anak merasa didukung, mereka akan datang sendiri tanpa perlu dipaksa. Dan ketika hubungan itu terjalin dengan baik, tidak perlu ada yang khawatir tentang "nanti di masa tua siapa yang akan merawat?" Karena anak yang tumbuh dengan kasih sayang, akan selalu punya tempat untuk pulang.
Sama-sama belajar untuk kebaikan:)
Pena Narr, Belajar Mencoret...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI