Komunikasi yang terjadi lebih sering berupa instruksi ketimbang diskusi. Begitu anak mulai mempertanyakan sesuatu atau punya pemikiran sendiri, respons yang muncul justru berupa kalimat seperti "kamu masih kecil", "Bapak sama Ibu lebih tahu yang terbaik buat kamu", atau yang lebih tajam lagi, "jangan sok tau".Â
Dalam kondisi seperti ini, wajar kalau banyak anak akhirnya memilih diam dan mengambil jalan mereka sendiri, meskipun itu berarti berjalan sendirian. Â
Salah satu hal yang sering kali dilupakan adalah bahwa kedekatan emosional dalam keluarga bukan sesuatu yang otomatis ada hanya karena adanya hubungan darah. Itu harus dibangun, dijaga, dan dipahami. Sama seperti hubungan persahabatan atau pernikahan, keluarga juga butuh komunikasi yang sehat.
Sayangnya, banyak orang tua menganggap bahwa karena mereka telah membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, maka itu sudah cukup untuk menjamin bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Kenyataannya, perhatian bukan hanya tentang uang sekolah yang dibayarkan tepat waktu atau makanan yang selalu tersedia di meja.
Lebih dari itu, perhatian adalah tentang ada atau tidaknya ruang untuk anak merasa aman berbicara, mengungkapkan pendapat, dan merasa bahwa mereka bukan sekadar bagian dari keluarga, tapi benar-benar diterima sebagai individu yang punya pemikiran sendiri. Â
Banyak orang tua yang menuntut anak untuk terbuka, tapi lupa bertanya apakah mereka sendiri sudah menjadi tempat yang nyaman untuk didatangi? Anak bukan properti yang bisa diatur sesuka hati. Mereka bukan sekadar perpanjangan mimpi orang tua yang harus berjalan di jalur yang sudah ditentukan.
Setiap anak punya keinginan, ketakutan, dan jalan yang ingin mereka ambil. Kalau sejak kecil mereka tumbuh dalam lingkungan yang selalu menekan dan membatasi, jangan heran kalau mereka akhirnya lebih memilih mencari dukungan dari orang lain di luar rumah.
Tidak sedikit kasus di mana anak akhirnya lebih dekat dengan teman atau bahkan orang asing di internet dibandingkan keluarganya sendiri. Bukan karena mereka tidak menyayangi orang tua, tapi karena di luar sana mereka merasa lebih didengar, lebih dihargai, dan lebih bisa menjadi diri sendiri tanpa takut disalahkan.
Banyak orang tua yang mengeluh, "Kenapa anak sekarang susah diatur?" Tapi pertanyaan yang lebih tepat adalah, "Apakah selama ini kita sudah mendengarkan mereka?" Bukankah lebih baik mendampingi daripada sekadar mengontrol?
Realitas yang menyedihkan adalah banyak anak yang tumbuh besar dengan perasaan bahwa mereka hanya "diharuskan"Â menjadi sesuatu, bukan diberi kesempatan untuk mencari jati diri mereka sendiri. Mereka merasa bahwa segala yang mereka lakukan harus sesuai dengan ekspektasi keluarga, dan jika tidak, maka mereka dianggap gagal.