Mohon tunggu...
Naraya Syifah
Naraya Syifah Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Penggembala Sajak

Tidak ada yang istimewa dari Naraya Syifah, ia hanya seorang gadis kampung yang sederhana, putri sulung dari keluarga sederhana yang disimpan banyak harapan di pundaknnya. Ia memiliki kepribadian mengumpulkan sajak di pelataran rumahnya. Pernah tergabung dalam beberapa komunitas literasi dan alhamdullilah saat ini sebagai penggerak literasi di kabupaten Subang. Ia menjalankan komunitas Pena Cita bersama teman-teman sehobinya. Kecintaannya pada literasi menghantarkannya sampai di sini. Semoga awal yang baru ini dapat lebih mengembangkan tulisannya dan merubah hidupnya. Selain menulis ia juga tergila-gila dengan K-drama yang dapat menginspirasi nya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja yang Tak Dirindukan

24 Juni 2022   19:58 Diperbarui: 24 Juni 2022   21:17 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: google

Aku tersenyum menyambut swastamita di gazebo rumahku bercampur dengan kepingan kenangan yang tak pernah absen dalam pikirku.

"Delapan belas tahun sudah berlalu," gumamku. Aku masih setia menatap senja yang sama, seperti bagaimana kita dulu.

"Lupakan dia, ca .... " tandasnya yang tiba-tiba membuyarkan lamunan indahku tentangnya.

Aku tidak sedikitpun mengalihkan pandangananku. Tidak ada yang lebih menarik dari dirinya dan senja.

"Sampai kapan kamu akan terus menyiksa dirimu seperti ini, ca? Bahkan dia sama sekali tidak pernah memikirkanmu!" teriaknya di depan mataku.

Perkataannya membuat atmaku terluka. Mengapa dia selalu saja mengaturku? Mengatur rinduku? Mengatur perasaanku?

Air mataku memburai. Aku menatapnya dengan tatapan benci. Sementara dia ..., dia selalu saja memperlihatkan kehangatannya saat menatapku, membuatku merasa berdosa saat aku menyakitinya. Dan aku benci perasaan itu!

"Aku mencintainya..." lirihku. Dia terdiam cukup lama. Aku tau, dia terluka dengan perkataanku. Lama, aku tak mendengar suaranya.

"Maafkan a_" Dia menutup mulutku dengan telunjuknya yang jangkung.

"Aku tau ca, aku akan memberimu waktu untuk bisa menggantikan posisinya," ucapnya lembut disusul dengan kepergiannya. Ada rasa sakit saat perlahan-lahan aku melihatnya semakin menjauh dan hilang ditelan jarak. Mungkin karena selama ini dia tidak pernah meninggalkanku seperti ini.

Napasku semakin sesak. Air mataku membuncah, memaksa untuk keluar dari tempatnya saat ku sadar Ken kini telah pergi meninggalkanku.

Ken ...?

Apa benar ini tentang Ken?

Atau masih tentang dirinya?

Aku mengambil selembar foto usang yang tergeletak di atas nakas dengan kedua tanganku yang bergetar. Sekelebat kenangan kembali menguras kesadaranku.

"Ayo, kejar aku!" serunya yang terus berlari di bawah langit jingga menjauhiku.

"Rio ..., tunggu!" teriaku dengan napas terengah-engah.

Aku mengerahkan seluruh kekuatanku untuk mengejarnya. Namun tiba-tiba aku tersandung sebuah batu kecil hingga aku terjatuh. Dengan tergesa Rio berlari ke arahku, memeriksa kedua tangan dan kakiku hingga menemukan tetesan darah pada siku lengan kananku yang robek.

"Aw…!" rintihku meringis.

"Maafin aku, ca. Gara-gara aku kamu terluka," sesalnya.

"Ini bukan salah kamu. Aku saja yang tidak berhati-hati," jawabku tak ingin membuatnya merasa bersalah.

"Aku janji, aku akan bertanggung jawab. Kalau kita sudah besar nanti, aku akan menikah sama kamu dan selalu jagain kamu." Tanpa sadar aku mengulum senyumku sendiri mendengar perkataannya.

Aku terduduk lemas bersama genangan air mata yang sebentar lagi turun menghantam kedua pipiku dengan beringas. Aku memeluk kedua lututku, menenggelamkan kepalaku di atasnya sambil merapalkan nama Rio berulang kali dalam hatiku yang lebam.

Rio yang berjanji untuk selalu bersamaku menyambut arunika setiap pagi. Rio yang berjanji selalu menemaniku menikmati senja setiap sore. Rio yang berjanji akan selalu menjagaku dengan penuh kasih. Rio yang berjanji untuk menikah denganku.

Sebuah tangan besar menyentuh pundaku. Aku membuka kedua mataku perlahan, tubuhku semakin lemas. Aku menggelengkan kepalaku, menampik apa yang aku lihat. Mungkin saat ini aku sudah gila! Gila karena cinta masa kecilku yang tidak aku temukan saat aku dewasa.

"Kamu masih tetap saja berantakan seperti dulu," ungkapnya dengan seringai yang menyebalkan.

Bayangan itu menyentuh rambutku, merapikan anak-anak rambut nakal yang tak beraturan di sisi wajahku. Dia tersenyum mengejek dengan senyuman paling manis. Tubuhku terpaku dibuatnya, aku tak dapat melakukan apapun selain memperhatikan geliat anehnya.

"Ah, Aku benar-benar merindukan teman kecilku ini." Sialan! Bisa-bisanya aku berhalusinasi tentangnya. Dia memeluku erat, sangat erat hingga aku kesulitan untuk mencerna oksigenku.

"Aku punya hadiah spesial untuk teman kecilku." Dia melepaskan pelukannya, lalu mengambil kedua tanganku. Dia menyerahkan sebuah benda persegi panjang yang ia lumuri dengan senyuman dari saku jaketnya yang dalam.

Sekali lagi, aku membuka kedua mataku. Sebelumnya aku berharap ini mimpi atau aku memang sudah benar-benar tidak waras. Tapi rupanya dewi fortuna sedang tidak berpihak kepadaku. Seluruh tubuhku bergetar, kali ini ribuan belati telah menghujam jantungku. Menghancurkan asaku, mematahkan sayap-sayap pengharapanku tentangnya yang selama ini menemani senjaku.

Sebuah nama yang tertulis pada selembar kertas undangan bersama nama seorang perempuan yang tidak aku kenal adalah dirinya. Seseorang yang saat ini tengah berdiri di hadapanku. Dia menanti reaksiku dengan setia seolah menunggu ucapan selamat dariku.

Iya, aku memang akan mengucapkan selamat kepadanya karena telah berhasil melululantahkan hidupku. Mungkin saat ini aku adalah perempuan paling mengenaskan di dunia. Tapi haruskah itu yang aku pertontonkan kepadanya?

Semua kerapuhanku?

Semua kegilaanku selama ini yang menunggunya di gazebo setiap sore?

Semua kesakitanku selama ini karena merindukannya yang tak kunjung datang?

Aku memang mengharapkannya. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Bahkan aku belum sempat menanyakan kemana saja dia pergi. Undangan pernikahan ini telah membungkam taksa seluruh pertanyaanku untuknya. Seakan semua itu sudah tidak penting lagi. Setelah delapan belas tahun penantian, akhirnya dia datang merobek paksa jantungku, mengeluarkannya dari tempatnya dengan brutal.

Ken ....

Kamu benar, bahkan dia tidak pantas mendapatkan apapun dariku. Termasuk pernyataan cintaku.

Aku memberanikan diri menatapnya, menahan perih yang menyayat ulu hatiku, "Aku akan datang sebagai teman kecilmu."

Aku menjatuhkan kertas undangan yang tak tau diri ini dan berhambur ke dalam pelukannya. Aku tau, Ken sedari tadi memperhatikanku saat pertama kali Rio masuk ke dalam kamarku. Dan aku tidak tau, mengapa ada sebagian dari diriku yang terluka saat melihatnya menangisi air mataku yang kacau.

"Kenapa kamu pergi, Ken?" tanyaku memeluknya dengan suara parau.

Hanya itu yang keluar dari mulutku. Seakan aku tak terima atas perlakuannya kemarin yang telah meninggalkanku seorang diri. Aku tidak menampik rasa ini, aku kehilangannya. Dan aku tidak ingin terbiasa tanpanya.

"Aku tidak ingin membuatmu bingung dengan perasaanmu," jawabnya tanpa melepaskan sedikitpun pelukannya dariku.

Mungkin Rio adalah kegilaanku. Gila karena sebuah janji seorang anak laki-laki 9 tahun yang sialnya terdengar sangat merdu bagiku. Yang perkataannya selalu ku putar setiap sore dan malamku hinga menjadi candu air mataku. Apakah cinta seperti ini yang aku butuhkan?

Sementara Ken,

Ken yang selama ini menemaniku, menemani setiap soreku menanti senja. Ken yang sudah mewujudkan semua janji-janji Rio padaku. Ken yang tidak pernah menyerah walau terus mendapat penolakan. Ken yang selalu kembali meski harus pulang dengan segala kesakitan. Aku berjanji akan membuka hatiku seluas-luasnya untuk Ken. Sampai lelaki itu tak lagi memiliki tempat sekecil apapun dalam hatiku. Aku akan menutup semua celah di hatiku untuknya.

Kali ini jangan pergi, Ken. Aku sudah sekarat, dan aku akan mati jika kehilanganmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun