"Aku janji, aku akan bertanggung jawab. Kalau kita sudah besar nanti, aku akan menikah sama kamu dan selalu jagain kamu." Tanpa sadar aku mengulum senyumku sendiri mendengar perkataannya.
Aku terduduk lemas bersama genangan air mata yang sebentar lagi turun menghantam kedua pipiku dengan beringas. Aku memeluk kedua lututku, menenggelamkan kepalaku di atasnya sambil merapalkan nama Rio berulang kali dalam hatiku yang lebam.
Rio yang berjanji untuk selalu bersamaku menyambut arunika setiap pagi. Rio yang berjanji selalu menemaniku menikmati senja setiap sore. Rio yang berjanji akan selalu menjagaku dengan penuh kasih. Rio yang berjanji untuk menikah denganku.
Sebuah tangan besar menyentuh pundaku. Aku membuka kedua mataku perlahan, tubuhku semakin lemas. Aku menggelengkan kepalaku, menampik apa yang aku lihat. Mungkin saat ini aku sudah gila! Gila karena cinta masa kecilku yang tidak aku temukan saat aku dewasa.
"Kamu masih tetap saja berantakan seperti dulu," ungkapnya dengan seringai yang menyebalkan.
Bayangan itu menyentuh rambutku, merapikan anak-anak rambut nakal yang tak beraturan di sisi wajahku. Dia tersenyum mengejek dengan senyuman paling manis. Tubuhku terpaku dibuatnya, aku tak dapat melakukan apapun selain memperhatikan geliat anehnya.
"Ah, Aku benar-benar merindukan teman kecilku ini." Sialan! Bisa-bisanya aku berhalusinasi tentangnya. Dia memeluku erat, sangat erat hingga aku kesulitan untuk mencerna oksigenku.
"Aku punya hadiah spesial untuk teman kecilku." Dia melepaskan pelukannya, lalu mengambil kedua tanganku. Dia menyerahkan sebuah benda persegi panjang yang ia lumuri dengan senyuman dari saku jaketnya yang dalam.
Sekali lagi, aku membuka kedua mataku. Sebelumnya aku berharap ini mimpi atau aku memang sudah benar-benar tidak waras. Tapi rupanya dewi fortuna sedang tidak berpihak kepadaku. Seluruh tubuhku bergetar, kali ini ribuan belati telah menghujam jantungku. Menghancurkan asaku, mematahkan sayap-sayap pengharapanku tentangnya yang selama ini menemani senjaku.
Sebuah nama yang tertulis pada selembar kertas undangan bersama nama seorang perempuan yang tidak aku kenal adalah dirinya. Seseorang yang saat ini tengah berdiri di hadapanku. Dia menanti reaksiku dengan setia seolah menunggu ucapan selamat dariku.
Iya, aku memang akan mengucapkan selamat kepadanya karena telah berhasil melululantahkan hidupku. Mungkin saat ini aku adalah perempuan paling mengenaskan di dunia. Tapi haruskah itu yang aku pertontonkan kepadanya?