Menjelang senja, selepas pulang kerja, seorang ayah kerap mendapati rumahnya riuh oleh adu mulut anak lelaki dan istrinya. Anak itu sering memaksa sang ibu memenuhi berbagai permintaannya. Nada rengekan bercampur teriakan. Sesekali sang ayah mencoba nimbrung, tetapi ia cepat-cepat mundur karena takut kehilangan kendali emosi.
Dalam sebuah permenungan, ia menemukan cara lain. Bukan dengan bentakan, bukan pula dengan pukulan. Ia menulis sebuah surat. Surat itu ditujukan kepada kepala sekolah anaknya. Isinya, permintaan agar anaknya tidak diluluskan bila perilakunya tak berubah. Ia bahkan menyertakan alasan: sikap memaksa dan perkataan yang tak santun. Sang ayah juga mengutip pernyataan Gubernur Jawa Barat yang menekankan kepatuhan pada orang tua sebagai salah satu syarat kelulusan siswa.
"Dede, jika kamu masih terus memaksa ibu dan suka ngomong sembarangan, surat ini akan ayah kirim ke sekolah," katanya sambil menyodorkan lembaran itu.
Tindakan sang ayah mungkin tampak ekstrem, bahkan kontroversial. Namun, di balik itu, ia sedang melakukan "kritik sunyi" terhadap sistem pendidikan. Ia tahu bahwa sekolah memberi penghargaan besar pada kelulusan akademis. Karena itu, ia mencoba menggunakan "mata uang" itu untuk menanamkan pelajaran moral. Caranya memang keras, tetapi jelas: ia ingin menunjukkan bahwa keberhasilan sekolah tidak berarti apa-apa jika anak gagal menghormati ibunya. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, yang menegaskan bahwa pendidikan harus menuntun tumbuhnya budi pekerti (karakter), selain kecerdasan pikiran.
Apa yang dilakukan ayah itu bukanlah tindakan tanpa dasar. Faktanya, kondisi pendidikan kita cenderung memuja capaian kognitif dan abai pada karakter. Tokoh psikologi pendidikan Benjamin Bloom sudah menekankan tiga ranah belajar: kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Sayangnya, ranah kognitif masih dominan. Akibatnya, banyak siswa cemerlang secara akademis, tetapi kesulitan mengelola emosi atau menghormati orang tua. Inilah yang oleh Thomas Lickona (1991) disebut sebagai krisis moral pendidikan. Kondisi ini diperkuat oleh data terbaru. Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 dari KPK mencatat skor integritas pendidikan nasional hanya 69,50, sebuah penurunan yang menjadi alarm bahwa pendidikan karakter belum stabil.
Dengan kata lain, pendidikan kita masih sibuk dengan angka, sementara pembentukan karakter sering terabaikan.
Kisah sederhana ini memberi cermin bagi kita. Pendidikan tidak boleh berhenti pada ranah kognitif. Tujuan sejati pendidikan adalah membentuk manusia utuh: cerdas, terampil, sekaligus berkarakter.
UNESCO pernah merumuskan empat pilar pendidikan abad ke-21: learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Empat pilar ini mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan hanya soal menjejalkan pengetahuan di kepala. Ada dimensi lain yang tak kalah penting: keterampilan untuk diterapkan dalam kehidupan, kemampuan hidup berdampingan dengan orang lain, serta proses menjadi pribadi yang utuh.
Jacques Delors, tokoh pendidikan yang menggagas pilar-pilar ini, menekankan bahwa belajar sejatinya adalah transformasi diri. Pengetahuan hanyalah pintu masuk, tapi tujuan akhirnya adalah pembentukan manusia yang otonom, berintegritas, dan punya kematangan moral. Gagasan ini sejalan dengan filsuf John Dewey yang menekankan pentingnya "belajar dengan melakukan". Jadi, belajar tidak cukup sekadar "tahu", melainkan juga "menjadi".
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mencoba menegaskan pentingnya pendidikan karakter. Salah satunya melalui Surat Edaran Bersama tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang menekankan bahwa sekolah bukan hanya tempat mengajar mata pelajaran, tetapi juga ruang membangun nilai. Namun, implementasinya masih tambal sulam. Banyak sekolah lebih sibuk pada urusan administrasi atau seremoni, sehingga karakter hanya hadir di spanduk, bukan di perilaku.
Di titik ini, keluarga kembali tampil sebagai fondasi utama. Ki Hadjar Dewantara pernah menyebut pendidikan berlangsung dalam tiga pusat: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dari ketiganya, keluarga adalah lingkungan pertama dan terdekat yang paling menentukan. Teladan orangtua, baik dalam ketegasan maupun kelembutan, membentuk kebiasaan moral anak sejak dini. Aristoteles pun menekankan, karakter itu lahir dari kebiasaan yang terus-menerus dilatih.