Aku terkejut melihat wajah Mas Pras seakan tak berjarak. Ia begitu dekat di depan wajahku. Saat aku membuka mata Sambil menyeka pipi yang basah, aku membenarkan posisi duduk.Â
"Kamu mimpi, ya?" tanya Mas Pras. Ada nada khawatir dari suaranya. Aku menunduk sesaat, kemudian menatap Mas Pras yang kembali fokus dengan kemudi.
"Iya, Mas," jawabku pelan sambil mengumpulkan ingatan.Â
"Astagfirullah hal adzim, Mas!" pekikku mengingat mimpi barusan.Â
"Aku mimpi ke rumah Eyang. Bertemu Pak de Salim dan Pak De Salih, juga Bapak Eyang, Mas," Aku menarik nafas sebelum melanjutkan cerita.Â
"Dalam mimpi, aku lupa, kalau Mbok Eyang sudah meninggal. Aku merasa menyesal dan menangis di pangkuan Bapak Eyang, Mas," Aku diam sejenak, menatap ke luar jendela mobil.Â
"Mas, aku baru sadar. Orang yang kutemui dalam mimpi barusan, sudah meninggal semua. Bahkan, rumah itu. Rumah Eyang sudah gak ada. Dulu rumah dan tanah itu sempat jadi sengketa. Diperebutkan anak-anak tiri Mbok Eyang,"
"Sudahlah, Dek. Masalah itu kan sudah selesai, kamu sendiri yang cerita sama, Mas. Ikhlaskan, biar hati dan hidupmu tenang. Lebih baik doakan para Almarhum," nasehat Mas Pras membuatku terdiam. Meski hati semakin bergemuruh. Teringat bagaimana waktu Mbok Eyang diusir paksa dari rumahnya.Â
Aku mendengus, teringat kembali pada mimpi barusan. Baru aku ingat, yang hadir dalam mimpi adalah anak-anak tiri Mbok Eyang. Kenapa mereka hadir dalam mimpiku?Â
Dulu, waktu Bapak Eyang masih hidup. Aku tidak tahu jika kakak-kakak ibu, adalah saudara tiri. Namun setelah Bapak Eyang meninggal, mereka berubah. Kelakuan mereka seperti Serigala. Mengusir Mbok Eyang dari rumah, kemudian menjualnya. Mau tidak mau Mbok Eyang akhirnya tinggal bersama ibu sampai menutup usia.Â
Entah karma atau memang sudah takdirnya. Setelah rumah terjual, Pak Dek Salim dan Salih jatuh sakit. Kemudian Pak De Salim meninggal dengan rentang waktu sebulan setelah kejadian itu.Â