Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kenangan tentang Mbok Eyang

16 Mei 2021   23:28 Diperbarui: 18 Mei 2021   22:16 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Eyang. (sumber: pixabay.com/Free-Photos)

Suasana agak gelap dengan sedikit cahaya penerang yang entah dari mana sumbernya, saat aku sampai depan rumah Eyang. Sepertinya tak banyak berubah masih dengan dinding kayu berwarna merah di bagian bawah dan kaca di bagian atasnya. Sehingga jelas terlihat banyak orang di dalam. Seperti biasa, menjelang lebaran anak-anak Eyang pulang ke rumah ini. 

Setelah mengucap salam, aku masuk meski tidak dipersilahkan. Karena sudah terbiasa keluar masuk tanpa permisi. Namun kali ini rumah eyang tampak berbeda. Sebab ada Pak De Salim dan Pak De Salih. 

Sebenarnya masih ada beberapa orang laki-laki dan perempuan lain tetapi wajah mereka asing. Tak ada yang dikenal sama sekali tetapi aku tak mau ambil peduli. Meski sungkan, aku salami mereka satu persatu. 

Tatapan mereka dingin, membuatku merasa canggung dan tanpa bicara, aku meninggalkan ruang depan dan langsung ke dapur. Namun hingga melewati dapur dan sampai pintu belakang, aku tak menemukan sosok Mbok Eyang. 

Suluh dalam tungku telah habis, tetapi bara masih merekah di dalamnya. Nampak Bapak Eyang sedang duduk terpaku di depannya. Wajahnya terlihat lebih muda. 

"Mbok Eyang dimana?" tanyaku setelah sungkem. 

"Loh, lupa? Mbok Eyang kan sudah meninggal!" jawab Bapak Eyang, membuatku tersentak. 

"Astagfirullah hal 'adzim." 

Seketika air mata berjatuhan. Dadaku terasa sesak menyesalinya diri. Bagaimana bisa aku lupa dengan keberadaan Mbok Eyang. Sungguh aku merasa menjadi cucu tak tahun diri. Bagaimana mungkin, aku lupa dengan hal penting seperti. 

Aku berjongkok dan membenamkan kepala di pangkuan Bapak Eyang dan menangis sesenggukan. Beliau menepuk-nepuk bahuku untuk menenangkan. 

"Yen, bangun Yen."

Aku terkejut melihat wajah Mas Pras seakan tak berjarak. Ia begitu dekat di depan wajahku. Saat aku membuka mata Sambil menyeka pipi yang basah, aku membenarkan posisi duduk. 

"Kamu mimpi, ya?" tanya Mas Pras. Ada nada khawatir dari suaranya. Aku menunduk sesaat, kemudian menatap Mas Pras yang kembali fokus dengan kemudi.

"Iya, Mas," jawabku pelan sambil mengumpulkan ingatan. 

"Astagfirullah hal adzim, Mas!" pekikku mengingat mimpi barusan. 

"Aku mimpi ke rumah Eyang. Bertemu Pak de Salim dan Pak De Salih, juga Bapak Eyang, Mas," Aku menarik nafas sebelum melanjutkan cerita. 

"Dalam mimpi, aku lupa, kalau Mbok Eyang sudah meninggal. Aku merasa menyesal dan menangis di pangkuan Bapak Eyang, Mas," Aku diam sejenak, menatap ke luar jendela mobil. 

"Mas, aku baru sadar. Orang yang kutemui dalam mimpi barusan, sudah meninggal semua. Bahkan, rumah itu. Rumah Eyang sudah gak ada. Dulu rumah dan tanah itu sempat jadi sengketa. Diperebutkan anak-anak tiri Mbok Eyang,"

"Sudahlah, Dek. Masalah itu kan sudah selesai, kamu sendiri yang cerita sama, Mas. Ikhlaskan, biar hati dan hidupmu tenang. Lebih baik doakan para Almarhum," nasehat Mas Pras membuatku terdiam. Meski hati semakin bergemuruh. Teringat bagaimana waktu Mbok Eyang diusir paksa dari rumahnya. 

Aku mendengus, teringat kembali pada mimpi barusan. Baru aku ingat, yang hadir dalam mimpi adalah anak-anak tiri Mbok Eyang. Kenapa mereka hadir dalam mimpiku? 

Dulu, waktu Bapak Eyang masih hidup. Aku tidak tahu jika kakak-kakak ibu, adalah saudara tiri. Namun setelah Bapak Eyang meninggal, mereka berubah. Kelakuan mereka seperti Serigala. Mengusir Mbok Eyang dari rumah, kemudian menjualnya. Mau tidak mau Mbok Eyang akhirnya tinggal bersama ibu sampai menutup usia. 

Entah karma atau memang sudah takdirnya. Setelah rumah terjual, Pak Dek Salim dan Salih jatuh sakit. Kemudian Pak De Salim meninggal dengan rentang waktu sebulan setelah kejadian itu. 

Kemudian setahun berikutnya Pak De Salih menyusul. Sedangkan Mbok Eyang, masih diberi umur panjang. Bahkan saat aku menikah beliau masih menyaksikan. 

Walaupun kemudian meninggal sebelum sempat melihat cucu yang lahir dari rahimku. Kemudian Mbok Eyang dimakamkan di tanah pemakaman kampung ayah. Itu artinya, Mbok Eyang dan Bapak Eyang di makamkan di tempat berbeda. 

"Mas, kok berhenti di sini?" Aku sadar dari lamunan saat mobil berhenti di depan sebuah Masjid. 

"Tanggung Mas, setengah jam lagi kan nyampe rumah!" protesku yang dijawab senyum oleh Mas Pras. 

Setelah mobil terparkir rapi di halaman, kemudian Mas Pras turun tanpa menoleh ke arahku. Namun kemudian ia muncul di samping dan membuka pintu. 

"Ayo, turun!" Aku menurut dan berjalan mengikutinya dari belakang. 

"Dulu, rumah Eyang di sini kan?"

"Iya," jawabku. Selama ini jika aku cerita, Mas Pras selalu diam. Ternyata ia mendengarkan dan mengingat apa yang keluar dari mulutku. 

"Kita salat di sini dan jangan lupa doakan almarhum. Ikhlaskan semuanya Dek, semua sudah berlalu," Aku mengangguk, kemudian melangkah menuju masjid. 

Lampu dalam masjid masih menyala, meski tak nampak ada seorang pun di sana. Mungkin karena bulan Ramadhan sehingga Masjid ini buka dua puluh empat jam tanpa dikunci. 

Atau, mungkin juga, sebenarnya marbot Masjid masih terjaga, hanya saja ia ada di bagian Masjid di luar jangkauan mataku saat ini. Mas Pras terlihat ke samping kiri menuju toilet pria. Sementara aku masih menikmati suasana di teras depan. 

Aku berbalik memandang halaman sambil membayangkan tempat ini masih menjadi rumah Eyang. Suasana masih teramat sepi di jam setengah dua malam seperti ini. Malam terasa tenang dan tentram. Udara berhembus pelan, tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas. Hening. 

"Tiada riuh penduduk bumi di malam mulia. Malam seribu bulan yang dinantikan setiap jiwa. Semua bersujud memohon ridha Ilahi," bisik hatiku.
Aku duduk di tangga masuk Masjid, menikmati semilir angin malam. Setelah beberapa saat aku bangkit. 

"Ya, Allah, mungkinkan malam ini malam lailatul qadar? Wallahualam. Hanya Engkaulah pemilik rahasia," bisikku dalam hati. 

Aku bergegas ke tempat wudhu wanita untuk membersihkan diri. Setelah selesai aku bertolak ke tempat salat wanita. 

Setengah jam lebih waktu berlalu. Aku bergegas merapikan mukena dan memasukannya ke dalam tas. Seperti hujan salju, hatiku terasa sejuk dan damai. 

Dengan ringan, aku keluar Masjid. Nampak Mas Pras berdiri dengan bersandar di mobil. Aku tersenyum dan berjalan ke arahnya. 

"Lanjut?" tanya Mas Pras. Aku mengangguk dan tersenyum. Sebelum masuk mobil, aku berhenti sejenak memandang ke rumah besar di seberang Masjid. 

"Mas, besok kita ke sana. Itu rumah, Mbak Yanti, anaknya Pak De Salim," kataku. 

"Siap!" jawab Mas Pras sambil mengacungkan jempol. Beberapa saat kemudian mobil keluar area Masjid dan kembali melaju di jalanan. Masih sekitar setengah jam lagi, aku baru akan sampai di desa sebelah. Desa tempatku dilahirkan. Juga tempat rumah ibuku dan makam Mbok Eyang berada. 

"(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan." (QS Ali Imran: 134).

"InsyaAllah, kamu termasuk yang dicintai Allah,Yen" ucap Mas Pras kembali mengusik lamunanku. 

"Aamiin," jawabku sambil tersenyum.
Ada rasa bahagia tak terkata dalam hati atas semua yang kumiliki. Termasuk memiliki, Mas Pras.

Tamat

Mutia AH
Ruji, 16 Mei 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun