Celakanya, masuk sekolah dasar justru harus bisa calistung. Efek dominonya adalah orangtua menuntut lembaga PAUD untuk bisa menjamin anaknya lolos kemampuan calistung sebelum masuk SD. Dampaknya, TK/PAUD yang tidak bisa memberikan garansi bakal sepi peminat. Tidak menjual!
Pendidik PAUD pun terjebak dalam kegundahan, tarik menarik antara idealisme dan kebutuhan akan siswa yang mendaftar.
Alhasil, standar keberhasilan anak sekolah PAUD dinarasikan sebagai anak yang lancar calistungnya. Les-les calistung untuk anak usia dini pun bertebar dimana-mana. Bayangkan, anak usia lima tahun pergi les!Â
Seakan lupa, bahwa prinsip perkembangan anak bukanlah lebih cepat lebih baik, tapi berkembang sesuai tahapannya.
Kebijakan penghapusan calistung sebagai syarat tes dapat menjadi angin segar atas kegundahan-kegundahan diatas. Tentu tak cukup hanya disitu. Gayung perlu bersambut. Bila anak tidak wajib bisa calistung, maka tentu pembelajaran di jenjang awal sekolah dasar perlu pula disesuaikan.
Proses pembelajaran dan materi serta bahan belajar ditransformasi agar sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan belajar anak usia dini.Â
Hal ini menjadi penting karena fase awal sekolah dasar sesungguhnya adalah masa transisi. Bila tidak dikemas dengan baik, maka shock culture persekolahan untuk anak tak pelak akan terjadi.
Bayangkan, beralih dari masa belajar yang penuh keceriaan, tralala trilili, tepuk-tepuk, nyanyi-nyanyi, belajar alam, menuju situasi belajar dengan kelas dan kursi berbaris, duduk tenang sepanjang hari, dan PR menanti, tentu akan berat sekali.
'Ha? Kok tidak ada mainan?'
'Ah, tak seru. Tak bisa main!'
Demikan kira-kira respon awal anak lulusan PAUD yang masuk sekolah dasar. Hakikatnya, anak usia 6 hingga 7 tahun masih tergolong pada anak usia dini.Â