Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masa Remaja, Awas Pembocahan Berkepanjangan

19 Agustus 2020   14:43 Diperbarui: 19 Agustus 2020   14:31 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Remaja, masa penyiapan kedewasaan (Sumber foto : popmama.com)

"Keponakanku ditangkap polisi" Seorang kawan bercerita. Curhat tentang susah hatinya.

"Ia terbukti mencuri sebuah sepeda motor bersama teman-temannya" Waduh, kok bisa?

"Masih SMP sudah berani begitu, bagimana besarnya nanti? Kasihan kakakku punya anak macam itu"

Saya pun prihatin. Pengalaman pribadi, dulu saya juga pernah kehilangan sepeda motor di kampus. Saya lapor polisi. Pelakunya tertangkap. Seorang remaja 15 tahun.

Bila kita simak berita, acap kali anak remaja terlibat hal-hal negatif. Entah pencurian, obat terlarang, atau sekedar prank yang tak berempati. Ingat kasus prank sembako sampah beberapa waktu yang lalu? Ini bukan remaja malah. Sudah 21 tahun. Sudah dewasa! Mestinya...

Baru-baru ini juga ada lagi kasus prank. Kali ini objeknya sampah yang disamarkan menjadi daging kurban. Diberikan kepada ibu-ibu.


Ada apa ini? Padahal secara usia, para pelaku diatas bukanlah anak-anak yang belum bisa membedakan baik buruk. Setidaknya mereka sudah remaja. Menuju dewasa.

Apa jangan-jangan mereka adalah jiwa anak-anak yang terperangkap di tubuh remaja dan orang dewasa? Jangan-jangan mereka hanya sedang mengalami perpanjangan masa kanak-kanak. Kalau meminjam bahasa Adriano Rusfi, pembocahan yang berkelanjutan.

Bila begitu maka sesungguhnya orangtua punya peran sentral mendampingi anak pada masa remaja, lepas dari kekanak-kanakan, menuju kedewasaan. Agar tak menjadi bocah terus menerus. Agar tak dianggap anak-anak terus.

Batasan Dewasa

Indonesia punya batasan tersendiri soal kedewasaan. Pasal 330 KUH Perdata menyebutkan bahwa seseorang dianggap dewasa bila telah berusia 21 tahun atau pernah menikah. Sedangkan UU no I tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 47 menyebutkan bahwa seseorang dianggap cakap menikah bila telah berusia 18 tahun.

Kita tak akan membahas lebih lanjut tentang konteks penggunaan masing-masing pasal tersebut. Hanya menggarisbawahi bahwa batasan usia dewasa secara biologis adalah 18 dan 21 tahun, bergantung pada konteksnya.

Sebelum usia dewasa adalah masa bayi (0-2 tahun), balita (2-5), anak-anak (6-10) dan remaja (10-17 tahun). Dengan demikian, seseorang berada pada fase pra dewasa selama lebih kurang tujuh belas tahun.

Pada budaya kita, ketika seorang anak telah memasuki masa puber, maka ia akan dianggap dalam fase remaja. Tak lagi dianggap anak-anak, namun juga tak dianggap sebagai orang dewasa.

Nah, masa inilah yang seringkali rawan. Bila tak hati-hati, maka akan kedewasaan akan tercapai dengan lambat. Bahkan bisa jadi tak ternah tercapai.

Dean Kelly menyebut sebuah sindrom untuk orang semacam itu, yakni Peter Pan syndrom. Istilah ini ditujukan untuk orang dewasa yang secara sosial tidak menunjukkan kematangan.

Sindrom yang lazim diderita oleh lelaki yang secara psikologis, seksual dan sosial keluar dari pengasuhan. Pria yang mengidap sindrom ini tak bisa lepas dari kebutuhan peran ibu yang selalu menyayangi, melindungi dan melayani anaknya. Maka ia pun akan mencari tipe istri yang seperti itu. Sehatkah? Tentu saja tidak. 

Ini juga termasuk pembocahan, dan lingkungan, dalam hal ini orangtua dan budaya punya peran besar dalam pembocahan ini.

Dewasa fisik, dewasa mental = Aqilbaligh

Menurut Harry Santosa, perkembangan anak dibagi kedalam empat fase, yakni masa pra latih (di bawah 7), masa pelatihan/tadrib (7-10), pra aqilbaligh (10-14 tahun) dan postaqilbaligh (>14 tahun).

Dalam Islam dikenal sebuah istilah yang menandakan kedewasaan seseorang, yakni aqilbaligh. Baligh ditandai dengan berubahnya tubuh seseorang secara hormonal yang menandai awal masa dewasanya. Mimpi basah, haidh, suara yang berubah dan tumbuhnya buah dada adalah indikator-indikatornya. Singkatnya, baligh adalah dewasa secara fisik.

Sedangkan Aqil adalah kedewasaan secara mental. Berakal. Pendidikan akal akan berimplikasi pada kemampuan untuk bertangungjawab. Kemandirian, mengambil keputusan, bertanggungjawab secara sosial dan finansial adalah sebagian tanda-tandanya. 

Ironisnya, kedewasaan secara fisik dan psikis ini terkadang tak terjadi secara serentak.

Acap terjadi seseorang yang telah berusia diatas 17 tahun namun belum juga mampu untuk mengatur kehidupannya sendiri, masih terbawa-bawa arus pergaulan. Anak-anak yang telah baligh, berubah menjadi remaja, namun masih bergantung sepenuhnya pada orangtua.

Maka yang terjadi kemudian adalah seperti kasus-kasus diatas. Seorang yang sudah seharusnya dewasa, namun masih tak mampu mengemban tanggung jawab. Jadilah perpanjangan masa anak-anak alias pembocahan yang berkelanjutan.

Begitu memasuki fase pra aqilbaligh (10-14 tahun), sudah sepantasnya seorang anak diperkenalkan pada tanggung jawab-tanggung jawab baik secara finansial ataupun sosial yang akan diembannya kelak.

Santosa malah menganjurkan agar anak menjelang remaja tersebut dibiarkan untuk belajar mencari nafkah sendiri, membuat keputusan sendiri dan diberikan tugas untuk menjalani peran sosialnya. Bukan malah diketiaki dan dianggap masih anak-anak. Nanti akan berontak!

Remaja terkadang melakukan hal-hal yang sensasional untuk menunjukkan eksistensi diri. Ingin diakui. Ogah dianggap anak kecil lagi. Maka orangtua harus memfasilitasi, agar keinginan ini tersalur dengan tepat. Sekaligus menumbuhkan kedewasaa mentalnya, beriring dengan kedewasaan fisik.

 Apa yang harus dilakukan orangtua?

Agar tak terjadi pembocahan, maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orangtua.

Fasilitasi Eksistensi diri

Remaja biasanya suka menonjolkan diri, ingin diakui. Maka berikan pengakuan itu. Berikan peran, libatkan dalam aktivitas sosial, dimana ia akan menemukan eksistensi dirinya. Pramuka, organisasi remaja masjid, atau bidang olahraga bisa menjadi beberapa pilihan.

Hal ini dilakukan untuk mencegah penonjolan diri yang tidak semestinya. Tahu kan, berapa banyak remaja yang ingin eksis lalu melakukan hal-hal konyol. Prank sumbangan kemaren misalnya. Atau lewat aplikasi-aplikasi joget-joget yang populer itu.

 

Pramuka, salah satu opsi eksistensi remaja (Sumber Foto : cnnindonesia.com)
Pramuka, salah satu opsi eksistensi remaja (Sumber Foto : cnnindonesia.com)
Menjadi Raja Tega

Ada tipe orang tua yang membatasi uang belanja anaknya untuk seminggu. Secukupnya untuk sekolah dan harus cukup. Bila kurang? Tanggung sendiri akibatnya. Mau tambahan? Putar otak, cari sendiri.

Akhirnya sang anak belajar untuk memanajemen keuangannya, meminimalisir keinginan, fokus pada kebutuhan. Ah, ada kebutuhan yang tak dapat ditunda! Maka orangtuanya menunjukkan pada anak bagaimana cara memutar uangnya. Belajar mandiri finansial.

Tipe orangtua seperti ini adalah tipe raja tega. Tipikal orangtua yang dibutuhkan untuk membentuk kedewasaan anak. Ada sebagian yang mungkin terlalu sayang, maka memenuhi semua kebutuhan anaknya secara sim salabim. Walaupun si anak telah baligh. Bisa jadi, itu tidak terlalu tepat.

Memberikan ruang kemandirian, walau terbungkus ketegaan adalah bentuk kasih sayang jua. Remaja butuh dipercaya, butuh tantangan. Maka berikan itu. Kesusahan-kesusahan itulah yang akan membentuknya kelak. Bukankah karakter yang mendukung kesuksesan dibentuk oleh jalan terjal?

 Suka lawan jenis? Asuh fitrah seksualitasnya

Secara hormonal, begitu memasuki masa baligh, anak akan merasakan ketertarikan pada lawan jenisnya. Itu lumrah, dorongan yang tak dapat ditolaknya. Yang harus dilakukan oleh orangtua bukanlah cukup dengan mengatakan "Jangan pacaran! Masih Kecil!". 

Oh, mereka tak kecil lagi. Sudah baligh.

Mengarahkan fitrah seksualitas ini menjadi wajib, agar anak tak terjebak dalam penyimpangan-penyimpangan. Entah itu seks bebas ataupun penyimpangan orientasi seksual. Caranya adalah mengulangi lagi proses pendidikan fitrah seksualitas. Pernah saya tulis disini (Pendidikan Seksualitas untuk Anak? Kenapa Tidak?)

Bagi anak lelaki, didekatkan dengan ibu, agar mengenal dan memperlakukan perempuan seperti ia mengenal dan memperlakukan ibunya. Bagi anak perempuan, didekatkan dengan ayah, agar ia mengenal sosok lelaki ideal dari ayahnya. Tak terjerumus pada pelukan lelaki hidung belang.

Menjadi Teman

Jamak kita kenal bahwa remaja adalah sosok yang tidak suka diatur. Ia lebih suka mengatur dirinya sendiri. Maka jadilah partner. Jadilah teman baginya. Alur komunikasi adalah setara, bukan lagi perintah. Psikolog pun sering menyarankan untuk memperlakukan anak remaja layaknya teman. Orangtua selayaknya menjadi orang nomor satu sebagai tempat curhat.

Jangan maklum bila pada masa remaja tiba-tiba anak tak lagi dekat dengan orangtua. Lebih pilih bersama teman. Mestinya kitalah yang bertanya, mungkin kita tak cukup memfasilitasi proses pendewasaannya.

**

PR besar kita adalah mendidik anak agar aqil dan baligh bersamaan. Menghajarnya dengan penyiapan kedewasaan dan kemandirian sejak usia 10 tahun. Menganggap bahwa mereka sudah dewasa. Sudah setara. Sudah dikenai kewajiban, sudah dewasa, tak wajib dinafkahi.

Ibu? Oh, usahlah risau. Bukankah cinta dan sayang dapat tetap diberikan tanpa disajikan dalam kemanjaan? Agar tak bocah terus!

Agar nanti anak tak menjadi baligh namun tak aqil. Dewasa fisiknya, kanak-kanak mentalnya.

Mungkin tanpa sadar kita punya peran dalam pembocahan anak, hingga kedewasaannya telat. Menganggap bahwa masa pubertas adalah masa pradewasa, postkanak-kanak. Masa tergantung-gantung.

Padahal, kalau suara sudah berubah sering dikomentari,

"Aih, anakku sudah besar!"

Curup,

19.08.2020

Muksal Mina Putra

Referensi : 

Pendidikan Berbasis Fitrah (Harry Santosa)

Menjadi Ayah Pendidik Peradaban (Adriano Rusfi, dkk)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun