Maka yang terjadi kemudian adalah seperti kasus-kasus diatas. Seorang yang sudah seharusnya dewasa, namun masih tak mampu mengemban tanggung jawab. Jadilah perpanjangan masa anak-anak alias pembocahan yang berkelanjutan.
Begitu memasuki fase pra aqilbaligh (10-14 tahun), sudah sepantasnya seorang anak diperkenalkan pada tanggung jawab-tanggung jawab baik secara finansial ataupun sosial yang akan diembannya kelak.
Santosa malah menganjurkan agar anak menjelang remaja tersebut dibiarkan untuk belajar mencari nafkah sendiri, membuat keputusan sendiri dan diberikan tugas untuk menjalani peran sosialnya. Bukan malah diketiaki dan dianggap masih anak-anak. Nanti akan berontak!
Remaja terkadang melakukan hal-hal yang sensasional untuk menunjukkan eksistensi diri. Ingin diakui. Ogah dianggap anak kecil lagi. Maka orangtua harus memfasilitasi, agar keinginan ini tersalur dengan tepat. Sekaligus menumbuhkan kedewasaa mentalnya, beriring dengan kedewasaan fisik.
 Apa yang harus dilakukan orangtua?
Agar tak terjadi pembocahan, maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orangtua.
Fasilitasi Eksistensi diri
Remaja biasanya suka menonjolkan diri, ingin diakui. Maka berikan pengakuan itu. Berikan peran, libatkan dalam aktivitas sosial, dimana ia akan menemukan eksistensi dirinya. Pramuka, organisasi remaja masjid, atau bidang olahraga bisa menjadi beberapa pilihan.
Hal ini dilakukan untuk mencegah penonjolan diri yang tidak semestinya. Tahu kan, berapa banyak remaja yang ingin eksis lalu melakukan hal-hal konyol. Prank sumbangan kemaren misalnya. Atau lewat aplikasi-aplikasi joget-joget yang populer itu.
Â
Ada tipe orang tua yang membatasi uang belanja anaknya untuk seminggu. Secukupnya untuk sekolah dan harus cukup. Bila kurang? Tanggung sendiri akibatnya. Mau tambahan? Putar otak, cari sendiri.