Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

LANANG dan Filosofinya

13 September 2025   14:30 Diperbarui: 13 September 2025   14:30 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lanang (pinterest) 

Dalam keseharian masyarakat Jawa, kata lanang kerap terdengar begitu akrab. Sering muncul dalam percakapan sehari-hari untuk menyebut jenis kelamin laki-laki. Namun, sesungguhnya lanang menyimpan makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar istilah biologis. 

Di balik kata ini, tersimpan filosofi hidup, pandangan budaya, dan nilai-nilai luhur yang membentuk karakter seorang lelaki sejati.

LANANG, Lebih dari Sekadar Laki-Laki

Secara leksikal, lanang berarti laki-laki. Lanang setara dengan kata "laki-laki" dalam bahasa Indonesia, atau "priya" yang juga dipakai dalam bahasa Jawa dengan nuansa lebih formal. 

Namun, perbedaan kecil ini menyimpan pesan budaya yang besar. Jika kata priya terdengar resmi dan jarang digunakan dalam percakapan harian, maka kata lanang terasa lebih dekat, lebih hangat, dan lebih membumi dalam keseharian orang Jawa.

Namun, makna lanang dalam praktiknya tidak berhenti di situ. Lanang sendiri menjadi konsep tentang bagaimana seorang laki-laki seharusnya menjalani hidup. Kata ini mengandung nilai, harapan, dan tanggung jawab yang melekat pada diri seorang lelaki, baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Filosofi "LAkune teNANG"

Salah satu tafsir menarik dari kata lanang adalah singkatan LAkune teNANG. Filosofi ini menekankan bahwa seorang laki-laki selayaknya memiliki sikap tenang, tidak tergesa-gesa, tidak ceroboh, tidak kasar, dan tidak meremehkan sesuatu.

Dalam pandangan Jawa, ketenangan adalah kunci kebijaksanaan. Seseorang yang terburu-buru cenderung mudah salah langkah, sementara mereka yang tenang bisa berpikir jernih dan bertindak bijaksana. Seorang lanang sejati bukanlah yang menunjukkan kekuatan dengan amarah, melainkan yang mampu mengendalikan dirinya, menahan ego, serta memberi teladan lewat keteduhan sikapnya.

Lanang sebagai Tanggung Jawab

Dalam masyarakat Jawa tradisional, lanang memiliki kedudukan yang sarat dengan tanggung jawab. Sejak kecil, anak laki-laki dididik untuk menjadi sosok pelindung, pemimpin, dan penanggung jawab dalam keluarga. Dipersiapkan bukan sekadar untuk hidup mandiri, tetapi juga untuk memikul peran sosial yang lebih luas.

Ketika seorang anak lahir sebagai lanang, keluarga Jawa biasanya menaruh harapan besar padanya. Diharapkan kelak mampu menjaga nama baik keluarga, mengemban peran sebagai kepala rumah tangga, serta memberi rasa aman bagi orang-orang di sekitarnya. Karena itu, menjadi lanang bukan sekadar identitas, melainkan juga sebuah amanah.

Lanang Sing Wicaksana

Orang Jawa percaya bahwa menjadi lanang berarti juga menjadi wicaksana atau bijaksana. Sifat ini dianggap puncak dari kedewasaan seorang lelaki.  Tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga matang dalam berpikir, lembut dalam bertindak, dan luas dalam pandangan.

Seorang lanang sejati tidak mengukur kejantanannya dari otot yang besar atau suara yang lantang. Kejantanan justru dinilai dari kesabarannya menghadapi ujian hidup, keberaniannya menegakkan kebenaran, serta keikhlasannya dalam mengabdi pada keluarga dan masyarakat.

Lanang dalam Kehidupan Sosial

Di tengah masyarakat Jawa, posisi lanang erat kaitannya dengan tanggung jawab sosial. Seorang laki-laki diharapkan mampu menjadi pelindung bagi keluarganya, pengayom bagi komunitas, bahkan pemimpin yang menuntun orang lain menuju kebaikan.

Dalam struktur keluarga, peran lanang seringkali ditempatkan sebagai kepala rumah tangga. Namun, dalam filosofi Jawa, kepala rumah tangga bukan berarti penguasa yang berhak memerintah seenaknya. Sebaliknya, ia adalah sosok yang rela berkorban, mendahulukan kepentingan keluarga, serta memastikan bahwa orang-orang yang berada dalam tanggung jawabnya hidup dengan baik.

Lanang dan Kesabaran

Salah satu nilai yang sangat ditekankan dalam konsep lanang adalah kesabaran. Orang Jawa sering berkata bahwa sabar itu ngelmu gedhe (ilmu besar). Seorang laki-laki yang sabar akan mampu menghadapi gejolak hidup tanpa mudah goyah.

Kesabaran membuat seorang lanang mampu menjadi teladan. Ia tidak mudah marah, tidak gampang tersinggung, dan tidak serta-merta mengambil keputusan hanya karena dorongan emosi. Dengan begitu, ia mampu menjaga harmoni dalam keluarga maupun masyarakat.

Lanang dan Ketangguhan

Selain sabar, seorang lanang juga diharapkan tangguh. Tangguh bukan berarti keras, melainkan kuat menghadapi segala rintangan. Ia mampu berdiri tegak di tengah badai, menjaga keluarganya dalam kesulitan, serta tidak mudah menyerah ketika cobaan datang bertubi-tubi.

Ketangguhan seorang lanang justru terlihat ketika ia tetap tenang dalam tekanan, mampu menguatkan orang-orang di sekitarnya, dan tidak kehilangan arah meski hidup penuh ketidakpastian.

Lanang dalam Modernitas

Seiring perkembangan zaman, makna lanang tentu mengalami pergeseran. Dalam kehidupan modern, laki-laki tidak lagi selalu ditempatkan sebagai satu-satunya pemimpin atau penanggung jawab. Namun, nilai-nilai yang terkandung dalam filosofi lanang tetap relevan.

Di tengah dunia yang serba cepat, seorang lanang tetap dituntut untuk bersikap tenang agar tidak terjebak pada keputusan gegabah. Di tengah arus digital yang penuh dengan distraksi, seorang lanang tetap harus mampu memilah mana yang bermanfaat dan mana yang menjerumuskan.

Filosofi LAkune teNANG menjadi semakin penting, karena justru di era ini, ketenangan adalah kelebihan yang jarang dimiliki.

Menjadi Lanang Sejati

Menjadi lanang sejati bukan sekadar persoalan jenis kelamin.  Menjadi lanang sejati adalah perjalanan hidup untuk menemukan ketenangan, menumbuhkan kesabaran, memupuk ketangguhan, serta menjalankan tanggung jawab dengan ikhlas.

Dalam falsafah Jawa, seorang laki-laki sejati bukanlah yang gagah secara fisik semata, melainkan yang kuat menahan diri, bijak dalam berpikir, sabar dalam menghadapi ujian, serta mampu menuntun keluarganya dengan keteduhan hati.

"Wong lanang iku kudu bisa momong, ngemong, lan ngemong rasa."
Artinya, seorang laki-laki harus bisa mengasuh, membimbing, sekaligus menjaga perasaan. 

Filosofi ini menegaskan bahwa kejantanan sejati tidak diukur dari kekuatan fisik, melainkan dari kemampuan menjaga harmoni: menjaga keluarga, membimbing masyarakat, dan memelihara keteduhan batin orang-orang di sekitarnya.

Dengan memahami filosofi ini, kita diajak untuk melihat bahwa lanang adalah panggilan hidup, sebuah pengingat bahwa menjadi laki-laki berarti juga menjadi manusia yang penuh tanggung jawab, tenang, dan bijaksana.


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun