Arga diam. Perasaannya seperti dicelupkan ke air es. Rasanya dingin dan menusuk.
Keesokan harinya, ia tak melihat Alya di sekolah. Begitu juga besoknya. Sampai hari terakhir di mana hujan reda dan langit cerah kembali, Ayla muncul.Â
"Kamu udah tahu ya?" tanya Alya saat mereka bertemu di gerbang sekolah.
Arga mengangguk. "Aku dengar dari Pakde penjual dekat Masjid."
Mereka berjalan seperti biasa, melewati jalan setapak, menyusuri kebun bunga matahari. Tapi hari itu terasa sunyi, walaupun burung-burung tetap berkicau dan angin tetap bertiup.
"Aku bakal kangen sepeda kamu yang bunyinya srek-srek itu," ucap Alya sambil tersenyum.
"Aku juga bakal kangen kamu yang suka niru-niru suara guru," balas Arga pelan.
Mereka berhenti di tikungan terakhir sebelum jalan bercabang. Biasanya, Arga akan belok ke kanan, Alya ke kiri. Tapi hari itu mereka berhenti lebih lama.
Alya diam sejenak, menatap bunga matahari di sebelah mereka.
Arga menunduk. Tangannya menggenggam setang sepeda erat-erat.
Lalu Alya tersenyum. Senyum yang indah tapi juga menyakitkan.