Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jalan Pulang yang Tak Lagi Sama

31 Juli 2025   22:52 Diperbarui: 1 Agustus 2025   00:10 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by AI (Dok. Pribadi)

Di desa kecil yang dikelilingi hamparan sawah, tinggallah anak lelaki bernama Arga. Usianya baru menginjak enam belas tahun, kelas dua SMA, dengan kulit legam terbakar matahari. Setiap hari, ia mengayuh sepeda tuanya yang kadang rantainya copot, kadang remnya ngadat. Sepeda itu setia menemaninya pulang pergi sekolah, melewati jalan pinggir sawah.

Suatu siang, sepulang sekolah, Arga merasa ada yang berbeda. Di jalan setapak menuju rumah, dia melihat seorang gadis yang juga sedang menuntun sepedanya. Gadis itu memakai tas ransel yang sudah agak pudar warnanya. 

Arga mengenalnya itu Alya. Teman sekelasnya yang baru pindah dan duduknya di barisan depan, Arga sebetulnya belum sempat ngobrol sama sekali padanya. Satu kelas, tapi belum pernah saling menyapa. Hari itu, karena kebetulan jalan mereka searah, mereka pun berjalan berdampingan dalam diam, dengan canggung.

"Eh... ban sepedamu bocor ya?" tanya Arga sambil melirik sekilas.

Alya menoleh, tersenyum kecil. "Iya, Aku pikir kuat sampai rumah, ternyata malah makin kempes."

"Mau aku temenin cari bengkel deket sini?" tanya Arga sambil menahan senyum canggung.

Alya mengangguk pelan. Maka, sepanjang jalan pulang itu, dua anak SMA ini berjalan berdampingan di antara hamparan sawah dan langit biru yang seolah sengaja membingkai momen sederhana mereka.

Sejak hari itu, akhirnya, mereka jadi sering pulang bersama. Awalnya masih kikuk, masih saling bingung harus bicara apa. Tapi lama-lama, perbincangan mereka mulai cair. Mulai dari cerita pelajaran yang susah, kelakuan guru yang lucu, sampai cerita-cerita random yang entah datang dari mana.

Seperti suatu hari, Alya bertanya sambil menahan tawa, "Arga, kamu percaya nggak kalau ayam itu bisa jatuh cinta sama manusia?"

Arga mengerutkan dahi. "Hah? Emang kamu pernah lihat ayam naksir orang?"

Alya mengangguk serius. "Pernah. Ayam nenekku dulu selalu ngikutin mas-mas penjual roti keliling. Kalau nggak datang seminggu, dia suka murung di pojokan."

Arga langsung tertawa ngakak. "Jangan-jangan ayamnya patah hati!"

"Makanya, kamu hati-hati ya. Siapa tahu ada ayam yang ngincer kamu juga," goda Alya sambil menepuk-nepuk pundaknya pelan.

"Arga," tanya Alya suatu hari sambil menggoyangkan kaki di jembatan kayu kecil dekat sungai, "menurutmu kenapa bunga matahari selalu menghadap matahari?"

Lalu Arga balik bertanya pada Alya sambil mendorong sepeda pelan-pelan melewati jembatan kayu kecil, "Menurutmu kenapa angsa cuma punya satu pasangan seumur hidup?"

Alya tertawa, geli. "Kamu nanya kayak gitu kenapa? Lagi mikirin jodoh juga, ya?"

Arga nyengir, pura-pura cuek. "Enggak lah... cuma iseng. Tapi serius deh, menurutmu kenapa?"

Alya menatap air sungai yang mengalir tenang di bawah mereka, lalu menjawab, "Mungkin karena angsa nggak suka coba-coba. Kalau udah nemu yang pas, ya dijaga terus. Nggak kayak manusia yang suka galau."

Arga ikut tertawa kecil, lalu menjawab, "karena angsa nggak pernah terlalu banyak mikir. Sekali suka, ya udah... cukup satu." 

Alya menoleh sambil tersenyum geli. "Berarti kamu kayak angsa, dong?"

Arga pura-pura sok bijak. "Ya... kalau bisa sih begitu. Tapi kayaknya aku masih sering bingung bedain suka beneran atau cuma karena nyaman aja tiap ngobrol sama dia." 

Alya tersenyum. Senyum yang membuat pipinya merah dan matanya menyipit seperti bulan sabit.

Hari-hari berjalan seperti itu. Mereka mulai terbiasa bersama. Arga bahkan membiarkan Alya membonceng di sepedanya, meskipun artinya dia harus mengayuh lebih keras di tanjakan. Tapi semua itu terasa ringan karena Alya akan tertawa-tawa di belakang, kadang menirukan suara guru Matematika mereka yang suka ngomel.

"Arga, kamu tahu nggak," ucap Alya suatu saat mereka berhenti di kebun bunga matahari, "kadang aku nungguin kamu keluar kelas biar bisa pulang bareng."

Arga nyaris keselek minumannya.

"Sumpah?"

Alya mengangguk sambil menyipitkan mata, menantang.

"Wah, kirain aku doang yang begitu."

Alya tertawa lagi, dan Arga ikut tertawa. Tapi di dalam hati, ada sesuatu yang tumbuh pelan-pelan. Rasa hangat yang muncul saat mereka berboncengan melintasi pematang sawah diiringi semilir angin dan siluet pegunungan yang berdiri megah di kejauhan. 

Namun, rasa itu tak pernah terucap. Arga terlalu malu untuk berkata lebih. Alya juga memilih menikmati hari-hari itu tanpa menuntut lebih dari sebuah kebersamaan.

Hingga suatu hari, semuanya berubah.

Hari itu seharusnya ada classmeeting sebelum libur kenaikan kelas. Tapi hujan deras mengguyur desa sejak pagi, membuat kegiatan dibatalkan dan para siswa dipulangkan lebih awal. Arga yang bosan di rumah memutuskan untuk main ke warung dekat masjid, mencari jajanan hangat dan suasana ramai. Di sanalah, ia mendengar kabar dari pemilik warung bahwa keluarga Alya akan pindah ke kota minggu depan. Ayahnya yang bekerja di proyek jalan tol mendapat penempatan baru.

Arga diam. Perasaannya seperti dicelupkan ke air es. Rasanya dingin dan menusuk.

Keesokan harinya, ia tak melihat Alya di sekolah. Begitu juga besoknya. Sampai hari terakhir di mana hujan reda dan langit cerah kembali, Ayla muncul. 

"Kamu udah tahu ya?" tanya Alya saat mereka bertemu di gerbang sekolah.

Arga mengangguk. "Aku dengar dari Pakde penjual dekat Masjid."

Mereka berjalan seperti biasa, melewati jalan setapak, menyusuri kebun bunga matahari. Tapi hari itu terasa sunyi, walaupun burung-burung tetap berkicau dan angin tetap bertiup.

"Aku bakal kangen sepeda kamu yang bunyinya srek-srek itu," ucap Alya sambil tersenyum.

"Aku juga bakal kangen kamu yang suka niru-niru suara guru," balas Arga pelan.

Mereka berhenti di tikungan terakhir sebelum jalan bercabang. Biasanya, Arga akan belok ke kanan, Alya ke kiri. Tapi hari itu mereka berhenti lebih lama.

Alya diam sejenak, menatap bunga matahari di sebelah mereka.

Arga menunduk. Tangannya menggenggam setang sepeda erat-erat.

Lalu Alya tersenyum. Senyum yang indah tapi juga menyakitkan.

"Terima kasih ya, udah jadi temen pulang sekolah terbaik."

Dan kemudian, mereka berpisah.

Seminggu kemudian, Alya benar-benar pindah. Tidak ada perpisahan manis, hanya sepi yang menggantung seperti kabut pagi.

Seiring waktu berjalan, jalan pulang itu tetap ada. Kebun bunga matahari tetap mekar sekali. Sawah tetap terhampar, gunung tetap berdiri gagah di kejauhan. Tapi tak ada lagi tawa Alya di jok belakang, tak ada lagi obrolan random yang menyertainya.

Arga tetap bersekolah, tetap naik sepeda yang sama. Tapi kini ia pulang sendirian.

Dan setiap melewati tikungan terakhir itu, hatinya mencubit pelan, mengingat satu kisah cinta kecil yang tak pernah sempat tumbuh lama. Sebuah rasa yang hadir, mengisi ruang, namun pergi tanpa pernah terucap.

Tapi Arga belajar menerima. Kadang, memang begitu cara hidup berjalan. Beberapa orang datang, mengubah harimu, lalu pergi. Tapi mereka meninggalkan sesuatu yang abadi, yakni kenangan.

Setiap kali angin menerpa wajahnya, Arga merasa seperti mendengar suara Alya tertawa. Dan itu cukup. Untuk mengingat bahwa pernah ada perjalanan kecil yang membuat hatinya hangat.

Sebuah cerita yang tak pernah tumbuh menjadi kisah. Hanya rasa, yang singgah sebentar lalu pergi.

Dan sepeda itu... tetap setia mengantarnya pulang, menyusuri jejak kenangan yang terlewat begitu saja.

31 Juli 2025 (MAW)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun