Alya tersenyum. Senyum yang membuat pipinya merah dan matanya menyipit seperti bulan sabit.
Hari-hari berjalan seperti itu. Mereka mulai terbiasa bersama. Arga bahkan membiarkan Alya membonceng di sepedanya, meskipun artinya dia harus mengayuh lebih keras di tanjakan. Tapi semua itu terasa ringan karena Alya akan tertawa-tawa di belakang, kadang menirukan suara guru Matematika mereka yang suka ngomel.
"Arga, kamu tahu nggak," ucap Alya suatu saat mereka berhenti di kebun bunga matahari, "kadang aku nungguin kamu keluar kelas biar bisa pulang bareng."
Arga nyaris keselek minumannya.
"Sumpah?"
Alya mengangguk sambil menyipitkan mata, menantang.
"Wah, kirain aku doang yang begitu."
Alya tertawa lagi, dan Arga ikut tertawa. Tapi di dalam hati, ada sesuatu yang tumbuh pelan-pelan. Rasa hangat yang muncul saat mereka berboncengan melintasi pematang sawah diiringi semilir angin dan siluet pegunungan yang berdiri megah di kejauhan.Â
Namun, rasa itu tak pernah terucap. Arga terlalu malu untuk berkata lebih. Alya juga memilih menikmati hari-hari itu tanpa menuntut lebih dari sebuah kebersamaan.
Hingga suatu hari, semuanya berubah.
Hari itu seharusnya ada classmeeting sebelum libur kenaikan kelas. Tapi hujan deras mengguyur desa sejak pagi, membuat kegiatan dibatalkan dan para siswa dipulangkan lebih awal. Arga yang bosan di rumah memutuskan untuk main ke warung dekat masjid, mencari jajanan hangat dan suasana ramai. Di sanalah, ia mendengar kabar dari pemilik warung bahwa keluarga Alya akan pindah ke kota minggu depan. Ayahnya yang bekerja di proyek jalan tol mendapat penempatan baru.