(Sambungan sebelumnya...)
Penobatan Ken Angrok sebagai Raja oleh Danghyang Lohgawe
Pada masa awal kekuasaannya, Ken Angrok hanya menjabat sebagai akuwu, yaitu penguasa lokal di wilayah Tumapel. Jabatan ini sebelumnya juga dipegang oleh Tunggul Ametung, dan status Tumapel kala itu masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kadiri. Meski telah menguasai Tumapel secara de facto, Ken Angrok belum bisa menyebut dirinya raja secara sah. Ia harus memerdekakan Tumapel terlebih dahulu dari kekuasaan Sri Kertajaya, raja terakhir Kadiri.
Peluang itu muncul ketika para brahmana dan pendeta yang berselisih dengan Sri Kertajaya mencari perlindungan ke Tumapel. Ken Angrok melihat ini sebagai legitimasi moral dan politik untuk menantang Kadiri. Dengan dukungan para agamawan dan kekuatan militernya, ia menyerbu Kadiri dan memenangkan pertempuran besar di Palagan Ganter pada tahun 1222 M.
Kemenangan ini menjadi titik balik sejarah. Tumapel yang dulunya hanya wilayah kecil di bawah Kadiri, kini berdiri sebagai kerajaan merdeka. Untuk menghapus jejak bahwa Tumapel pernah tunduk pada Kadiri, Ken Angrok mengganti nama wilayahnya menjadi Singhasari. Langkah ini sekaligus menjadi deklarasi berdirinya kerajaan baru.
Setelah mendirikan Singhasari, Ken Angrok dinobatkan sebagai raja oleh gurunya yang juga seorang brahmana suci dari India, Danghyang Lohgawe. Penobatan ini bersifat spiritual dan politis, karena Ken Angrok dipandang sebagai titisan Batara Wisnu yang ditunggu-tunggu. Ia kemudian menerima gelar:
Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi
D. Kutukan yang Menjadi Nyata: Kematian Ken Angrok
Seiring waktu, Ken Dedes melahirkan seorang putra bernama Anusapati, hasil dari hubungannya dengan Tunggul Ametung. Anusapati tumbuh sebagai pemuda yang cerdas, tenang, dan menyimpan banyak tanda tanya tentang masa lalunya. Ketika ia beranjak dewasa, desas-desus tentang pembunuhan Tunggul Ametung dan asal usul keris Mpu Gandring pun sampai ke telinganya. Setelah menyelidiki lebih jauh dan dibantu oleh pengakuan dari orang-orang kepercayaan istana, Anusapati akhirnya mengetahui kenyataan pahit bahwa ayah kandungnya bukanlah Ken Angrok, melainkan Tunggul Ametung---dan bahwa Tunggul Ametung dibunuh secara licik oleh Ken Angrok menggunakan keris kutukan.
Kebenaran ini menghantam batin Anusapati. Ia tidak hanya merasa dikhianati, tetapi juga menyadari bahwa ia tumbuh besar dalam bayang-bayang pembunuhan. Diam-diam, dendam mulai tumbuh dalam hatinya. Anusapati merasa bahwa keadilan belum sepenuhnya ditegakkan, dan bahwa ia harus menuntut balas demi kehormatan ayah kandungnya.
Di sisi lain, Ken Angrok juga memiliki anak dari istri lainnya, Ken Umang. Anak itu bernama Tohjaya, seorang pemuda yang ambisius, tetapi tidak secerdas Anusapati. Dalam lingkungan istana, konflik antara Anusapati dan Tohjaya berkembang secara perlahan namun tajam. Tohjaya merasa dirinya lebih layak mewarisi tahta karena ia adalah darah asli Ken Angrok, bukan hanya anak tiri. Namun posisi Anusapati yang lebih tua dan didukung oleh Ken Dedes membuatnya unggul secara politis dan sosial.