"Kampus saya hebat di riset. Tapi begitu kerja, saya sadar nggak pernah diajarkan cara menulis email profesional, presentasi ke klien, atau bekerja lintas tim," kata Herbet Sihombing, 25 tahun, karyawan baru di sebuah startup teknologi.
Di sisi lain, dosen menilai kampus tidak seharusnya berubah jadi "pabrik pekerja". Pendidikan tinggi bertugas membentuk pola pikir kritis dan karakter, bukan sekadar memenuhi kebutuhan industri jangka pendek. Inilah dilema yang membuat jurang makin sulit ditutup.
Dunia Kerja: Lebih dari Sekadar IPK
Industri modern bergerak cepat. Perusahaan kini mencari kandidat dengan soft skills kuat: komunikasi, kepemimpinan, kreativitas, kemampuan beradaptasi, serta literasi digital.
"IPK tinggi memang bagus. Tapi kami lebih memilih kandidat yang bisa kerja tim, punya pengalaman organisasi, atau pernah terjun ke proyek nyata," jelas Rafi Nasution, seorang manager SDM di Medan.
Realita ini membuat banyak lulusan merasa frustrasi. Mereka sudah melewati empat tahun kuliah dengan segala tugas, ujian, dan skripsi. Namun di mata industri, itu belum cukup.
Kisah Nyata: Antara Bingung dan Beruntung
Dodi, 25 tahun, lulusan teknik sipil, pernah melamar ke perusahaan konstruksi. Ia ditanya tentang software desain terbaru yang tidak pernah diajarkan di kampus. "Saya bengong. Akhirnya harus ikut kursus tambahan. Rasanya kuliah nggak nyambung dengan dunia kerja," katanya.
Sebaliknya, Maya, lulusan komunikasi, lebih cepat mendapat pekerjaan karena aktif di organisasi kampus dan pernah magang di media lokal. "Nilai saya biasa saja. Tapi pengalaman organisasi bikin saya percaya diri. Itu yang ternyata dilihat perusahaan," ujarnya.
Kedua kisah ini memperlihatkan garis tipis: dunia kerja menilai kesiapan lebih dari sekadar angka IPK.
Perbandingan Internasional: Belajar dari Singapura dan Finlandia