Antara Skripsi dan Slip Gaji
Hari wisuda selalu penuh euforia. Toga mengudara, kamera sibuk mengabadikan senyum bangga, dan janji masa depan serba cerah menggema di ruang-ruang auditorium. Namun setelah pesta usai, banyak lulusan baru mendapati kenyataan getir: ijazah tidak otomatis bertransformasi menjadi slip gaji.
"IPK saya 3,7, tapi sudah setahun belum dapat kerja tetap. Katanya perusahaan butuh pengalaman. Dari mana pengalaman kalau baru lulus?" keluh Rini, 24 tahun, lulusan universitas negeri di Medan.
Kisah Rini adalah potret nyata jurang yang semakin lebar: dunia kampus dan dunia kerja seolah berbicara bahasa yang berbeda.
Data yang Mengguncang
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Februari 2024 tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 4,82%. Ironisnya, sebagian besar penganggur justru berasal dari lulusan SMA dan universitas.
Studi Bank Dunia (2022) menyebut fenomena ini sebagai skills mismatch, jurang antara keterampilan yang diajarkan di kampus dengan keterampilan yang dibutuhkan industri. Akibatnya, banyak sarjana terjebak dalam pekerjaan yang tidak sesuai bidangnya, atau bahkan menganggur.
"Masalah utamanya adalah relevansi. Di kampus, fokus masih kuat pada teori, metodologi, dan kerangka akademis. Mahasiswa lebih banyak 'belajar tentang' daripada 'belajar melakukan'. Di lapangan, perusahaan menginginkan lulusan yang bisa langsung berkontribusi, tidak perlu lama-lama dilatih ulang. Mereka mencari SDM yang sudah terbiasa dengan tools, praktik, dan dinamika kerja nyata", ujar Muhammad Muhar, konsultan SDM.
Kampus: Menara Gading atau Tangga Karier?
Sejak lama, kampus sering dikritik sebagai "menara gading", tinggi, indah, tapi jauh dari tanah tempat manusia berpijak. Mahasiswa dididik dengan mata kuliah metodologi, filsafat ilmu, hingga teori kritis. Semua penting, tapi ketika dihadapkan pada realitas kerja, banyak yang bingung.
"Kampus saya hebat di riset. Tapi begitu kerja, saya sadar nggak pernah diajarkan cara menulis email profesional, presentasi ke klien, atau bekerja lintas tim," kata Herbet Sihombing, 25 tahun, karyawan baru di sebuah startup teknologi.
Di sisi lain, dosen menilai kampus tidak seharusnya berubah jadi "pabrik pekerja". Pendidikan tinggi bertugas membentuk pola pikir kritis dan karakter, bukan sekadar memenuhi kebutuhan industri jangka pendek. Inilah dilema yang membuat jurang makin sulit ditutup.
Dunia Kerja: Lebih dari Sekadar IPK
Industri modern bergerak cepat. Perusahaan kini mencari kandidat dengan soft skills kuat: komunikasi, kepemimpinan, kreativitas, kemampuan beradaptasi, serta literasi digital.
"IPK tinggi memang bagus. Tapi kami lebih memilih kandidat yang bisa kerja tim, punya pengalaman organisasi, atau pernah terjun ke proyek nyata," jelas Rafi Nasution, seorang manager SDM di Medan.
Realita ini membuat banyak lulusan merasa frustrasi. Mereka sudah melewati empat tahun kuliah dengan segala tugas, ujian, dan skripsi. Namun di mata industri, itu belum cukup.
Kisah Nyata: Antara Bingung dan Beruntung
Dodi, 25 tahun, lulusan teknik sipil, pernah melamar ke perusahaan konstruksi. Ia ditanya tentang software desain terbaru yang tidak pernah diajarkan di kampus. "Saya bengong. Akhirnya harus ikut kursus tambahan. Rasanya kuliah nggak nyambung dengan dunia kerja," katanya.
Sebaliknya, Maya, lulusan komunikasi, lebih cepat mendapat pekerjaan karena aktif di organisasi kampus dan pernah magang di media lokal. "Nilai saya biasa saja. Tapi pengalaman organisasi bikin saya percaya diri. Itu yang ternyata dilihat perusahaan," ujarnya.
Kedua kisah ini memperlihatkan garis tipis: dunia kerja menilai kesiapan lebih dari sekadar angka IPK.
Perbandingan Internasional: Belajar dari Singapura dan Finlandia
Di Singapura, konsep work-integrated learning diterapkan luas. Mahasiswa sejak awal diwajibkan magang di industri, bahkan ada skema earn and learn di mana kuliah dan kerja berjalan bersamaan. Hasilnya, lulusan lebih siap secara praktis dan industri tidak terlalu lama melatih ulang.
Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik dunia, menekankan project-based learning. Mahasiswa mengerjakan proyek nyata bekerja sama dengan perusahaan lokal. "Kuliah bukan sekadar duduk di kelas, tapi langsung terjun ke masalah riil," tulis laporan OECD (2021).
Indonesia mencoba meniru lewat program Kampus Merdeka. Mahasiswa diberi kesempatan magang, riset, atau kuliah di luar kampus hingga satu tahun. Namun implementasinya belum konsisten. Banyak mahasiswa mengeluh magang hanya diisi tugas remeh seperti fotokopi atau input data.
"Kalau magang hanya jadi tenaga murah, jurang kampus dan kerja nggak akan tertutup," kritik Herbet Sihombing.
Industri Healing ala Pendidikan
Menariknya, gap ini melahirkan "industri baru": kursus kilat, bootcamp, hingga sertifikasi. Dari coding bootcamp, kelas desain grafis, hingga workshop komunikasi bisnis.
Pasar ini tumbuh pesat karena mahasiswa sadar, kuliah saja tidak cukup. Namun, fenomena ini juga menunjukkan kegagalan sistem pendidikan formal menjawab kebutuhan industri.
"Sekarang lulusan kuliah masih harus bayar lagi buat kursus supaya bisa kerja. Itu beban ganda," kata Maya.
Jalan Tengah: Kolaborasi Nyata
Para pakar menilai solusi ada pada kolaborasi lebih erat antara kampus dan industri. Kurikulum harus adaptif, dosen perlu membuka diri terhadap tren terbaru, sementara perusahaan harus memberi ruang pembelajaran, bukan hanya menuntut.
Selain itu, mahasiswa juga harus lebih proaktif. Aktif berorganisasi, ikut komunitas, atau mencoba freelance project bisa jadi bekal nyata. Dunia kerja bukan hanya tentang apa yang dipelajari, tapi bagaimana kita belajar hal baru dengan cepat.
Dari Gap Menjadi Jembatan
Jurang antara dunia kampus dan dunia kerja mungkin tak akan hilang sepenuhnya. Dunia akademik dan dunia industri memang punya logika berbeda. Namun, jurang ini bisa dijembatani jika kampus menyiapkan, industri membimbing, dan mahasiswa berinisiatif.
Mengutip pandangan Rocky Gerung bahwa "Ijazah itu cuma tanda seseorang pernah belajar, bukan tanda ia pernah berpikir". Menurutnya, ijazah adalah simbol formalitas dan benda mati yang tidak secara otomatis mencerminkan kemampuan berpikir kritis atau pengetahuan mendalam yang sesungguhnya, berbeda dengan pengalaman berpikir yang justru menumbuhkan pengetahuan. Perjalanan sesungguhnya dimulai ketika kita berani melangkah ke dunia nyata, dengan bekal lebih dari sekadar nilai.* (M. Muhar Omtatok)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI