Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Penulis

Saya menjadi penulis sejak tahun 2019, pernah bekerja sebagai freelancer penulis artikel di berbagai platform online, saya lulusan S1 Teknik Informatika di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun 2012.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Burnout di Usia 20-an: Kenapa Banyak Anak Muda Sudah Lelah?

8 April 2025   15:06 Diperbarui: 8 April 2025   15:03 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, usia 20-an sering disebut sebagai masa emas untuk mencoba banyak hal. Masa penuh energi, ambisi, dan kebebasan. 

Ini adalah fase hidup yang penuh eksplorasi pindah-pindah kerja, gonta-ganti passion, membangun jejaring, bahkan mencoba usaha sendiri. Banyak yang bilang, “Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”

Namun, realita di lapangan tak selalu seindah narasi itu. Banyak anak muda justru merasa kehilangan arah, tertekan dengan tuntutan hidup, dan cepat lelah secara mental maupun fisik. 

Di balik pencapaian-pencapaian yang terlihat di media sosial, ada banyak yang sedang berjuang dalam diam melawan rasa cemas, overthinking, dan kelelahan yang terus menumpuk. 

Masa yang seharusnya jadi titik awal kehidupan justru terasa seperti beban besar yang sulit ditanggung.

Fenomena burnout di usia 20-an menjadi pertanda bahwa kita perlu melihat ulang ekspektasi dan tekanan yang diberikan kepada generasi muda. 

Apakah ini murni masalah pribadi? Ataukah ada sesuatu yang salah dengan sistem dan budaya yang kita hidupi bersama?

Budaya “Harus Sukses Cepat”

Media sosial sering menampilkan gambaran kesuksesan instan. Seorang anak muda bisa viral dan jadi jutawan hanya lewat satu konten.  

Cerita-cerita semacam ini dengan cepat menyebar, menjadi inspirasi sekaligus tekanan yang tak kasat mata. 

Tanpa sadar, banyak anak muda merasa harus bisa “berhasil” secepat itu juga. Harus punya penghasilan besar di usia 22, rumah di usia 25, dan hidup yang terlihat “mapan” sebelum kepala tiga.

Algoritma media sosial bekerja dengan memperkuat hal-hal yang mencolok keberhasilan luar biasa, gaya hidup mewah, pencapaian-pencapaian besar. 

Tapi jarang ada yang menampilkan proses jatuh bangun, kegagalan, atau tahun-tahun penuh ketidakpastian yang dialami sebelum sampai titik itu. 

Akibatnya, banyak orang merasa gagal hanya karena hidup mereka tidak secepat dan segemerlap yang mereka lihat di layar.

Tekanan Ekonomi dan Ketidakpastian Masa Depan

Harga kebutuhan pokok naik, biaya hidup membengkak, dan peluang kerja tak selalu sepadan dengan kualifikasi. 

Banyak anak muda yang sudah kuliah dengan susah payah, lulus dengan gelar yang baik, namun tetap kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai baik dari sisi minat, gaji, maupun jenjang karier.

Fenomena overqualified namun underpaid menjadi kenyataan pahit yang dihadapi banyak fresh graduate. 

Ada juga yang justru harus bekerja di bidang yang sama sekali tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya, semata-mata demi bertahan hidup. 

Di sisi lain, untuk bisa sekadar "survive" di kota besar, mereka harus mengambil pekerjaan sampingan atau freelance tambahan yang menguras waktu dan energi.

Tidak heran jika banyak dari mereka merasa lelah bahkan sebelum sempat benar-benar memulai hidupnya. 

Ketidakpastian ekonomi, ditambah beban sosial untuk terlihat sukses, menciptakan tekanan berlapis yang bisa menyebabkan burnout lebih cepat. 

Kurangnya Ruang Aman untuk Curhat

Di tengah kehidupan yang serba cepat, ruang untuk membicarakan emosi dan tekanan batin sering kali minim. Banyak anak muda tumbuh dengan pola pikir bahwa menunjukkan kelemahan adalah tanda kegagalan. 

Akibatnya, mereka belajar menyimpan semuanya sendiri berpura-pura kuat, tetap tersenyum, padahal di dalamnya sedang penuh sesak. Lingkungan sekitar pun sering tidak mendukung. 

Ketika seseorang mulai bercerita soal stres atau kecemasan, respons yang muncul kadang justru meremehkan: “Ah, kamu kurang bersyukur,” atau “Masih mending kamu, aku lebih parah.” 

Ini membuat banyak orang akhirnya memilih diam. Mereka takut dianggap lemah, manja, atau tidak tahan banting. Padahal yang dibutuhkan bukan solusi instan, melainkan pendengar yang tulus.

Sementara itu, kesadaran soal pentingnya kesehatan mental memang sudah mulai tumbuh, tapi akses untuk mendapat bantuan profesional masih belum merata. 

Budaya Hustle yang Menjebak

Kita hidup dalam budaya yang mengagungkan “sibuk.” Makin sibuk seseorang, makin dianggap sukses. Seolah-olah jadwal yang padat, lembur tanpa henti, dan tidak punya waktu luang adalah lambang dari dedikasi dan pencapaian. 

Ungkapan seperti “Gue tidur cuma 3 jam semalem” atau “Weekend pun tetap kerja” bukan lagi keluhan, tapi semacam lencana kehormatan.

Budaya ini diam-diam membentuk cara berpikir kita. Saat sedang tidak produktif, muncul rasa bersalah. Saat istirahat, muncul rasa takut tertinggal. 

Bahkan saat sakit pun, banyak yang tetap memaksakan diri bekerja demi menjaga “citra” sebagai pribadi yang tangguh dan tak kenal lelah.

Padahal, tubuh dan pikiran punya batas. Ketika kita terus-menerus memaksa diri untuk aktif tanpa jeda, kualitas kerja justru menurun, kreativitas melemah, dan semangat perlahan padam. 

Apa Solusinya?

Pertama, kita perlu mengubah cara pandang terhadap istirahat. Istirahat bukanlah kemunduran, bukan tanda kelemahan, dan bukan alasan untuk merasa bersalah. 

Justru dengan istirahat yang cukup, kita bisa berpikir lebih jernih, bekerja lebih efisien, dan menjalani hidup dengan lebih seimbang. Mulailah memberi ruang bagi diri sendiri untuk berhenti sejenak tanpa harus merasa tertinggal.

Kedua, penting untuk membuka percakapan tentang kesehatan mental di lingkungan sekitar baik itu keluarga, teman, maupun tempat kerja. Semakin banyak orang yang berani bicara, semakin cepat stigma terhadap kelelahan mental akan berkurang. 

Kita harus mulai membiasakan diri untuk bertanya “Kamu benar-benar baik-baik saja?” dan siap mendengarkan jawabannya tanpa menghakimi.

Ketiga, redefinisi sukses sangat penting. Sukses bukan hanya soal materi atau pencapaian yang bisa diunggah ke media sosial. 

Sukses juga tentang hidup dengan tenang, punya hubungan yang sehat, merasa cukup dengan diri sendiri, dan bisa bangun pagi tanpa beban di dada. Setiap orang punya garis waktunya sendiri, dan tidak ada kewajiban untuk terburu-buru.

Terakhir, kita harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Apa yang terlihat di layar bukanlah keseluruhan hidup seseorang. 

Kurangi membandingkan diri dengan apa yang hanya potongan terbaik dari kehidupan orang lain. Fokuslah pada perjalanan pribadi, bukan perlombaan yang dipenuhi ilusi.

Burnout di usia muda bukan tanda kelemahan, tapi sinyal bahwa ada sesuatu yang perlu diubah baik dari diri sendiri, lingkungan, maupun sistem sosial yang membentuk kita. 

Ini bukan tentang kurang kuat atau kurang semangat, tapi tentang dunia yang terus mendorong kita untuk berlari tanpa memberi ruang untuk bernapas. Anak muda bukan generasi lemah. Mereka justru sedang berjuang di tengah tekanan zaman yang tak pernah diam. 

Mereka menghadapi dunia yang berubah cepat, ekspektasi yang tinggi, dan tantangan hidup yang semakin kompleks. Maka, ketika mereka merasa lelah, itu bukan hal yang memalukan itu hal yang manusiawi.

Kita semua punya peran. Untuk saling mendengarkan, saling memahami, dan menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi kesehatan mental. 

Sebab pada akhirnya, hidup bukan soal siapa yang paling cepat mencapai garis finish, tapi siapa yang bisa menjalaninya dengan utuh, sadar, dan tetap waras.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun