“Kalau memang tidak bahagia, kenapa tidak resign saja?”
Kalimat itu terdengar sederhana. Terlalu sederhana untuk menggambarkan realitas pelik yang dialami banyak pekerja di luar sana. Di balik layar laptop yang terus menyala dari pagi hingga malam, di balik senyum yang dipaksakan saat rapat daring, ada tekanan yang menumpuk.
Rasa lelah yang tak kunjung reda. Hati yang terasa kosong meski rekening bank terisi penuh. Mereka tidak tinggal karena cinta terhadap pekerjaan, tapi karena tak ada pilihan yang benar-benar terlihat lebih baik. Mereka tahu ini bukan hidup yang ideal, tapi inilah hidup yang harus dijalani.
Bekerja bukan lagi soal menyalurkan passion atau mengejar mimpi, tapi soal bertahan. Soal memastikan kebutuhan bulanan terpenuhi, tagihan terbayar, dan status sosial tetap terjaga.
Tidak Pernah Puas: Sebuah Kodrat Manusia
Kita sering mendengar keluhan dari mereka yang sedang menganggur tentang betapa sulitnya mencari pekerjaan, tentang betapa mereka ingin “kesempatan untuk bekerja”.
Bagi mereka, memiliki pekerjaan berarti memiliki harapan. Sebuah jalan keluar dari rasa tidak berguna, dari tekanan sosial, dan dari kekhawatiran akan masa depan. Maka wajar jika pekerjaan dipandang sebagai anugerah yang patut disyukuri.
Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Begitu pekerjaan telah didapat, keluhan tidak serta-merta hilang. Justru sering kali muncul versi baru dari ketidakpuasan. Gaji tak sebanding dengan beban kerja.
Lingkungan kantor yang toksik. Tuntutan atasan yang tidak masuk akal. Lembur tanpa kompensasi. Semua itu membuat para pekerja merasa seolah berpindah dari satu bentuk tekanan ke bentuk lainnya.
Ini bukan berarti mereka tidak tahu bersyukur. Mereka tahu, dan mungkin setiap hari mencoba untuk meyakinkan diri sendiri bahwa “masih banyak orang di luar sana yang ingin berada di posisi ini.”