Ramadan telah usai. Takbir kemenangan sudah lama berlalu, baju baru pun kembali tergantung di lemari.Â
Sisa-sisa hidangan Lebaran mulai menghilang dari meja makan, dan suasana hangat kumpul keluarga perlahan tergantikan oleh ritme kehidupan yang kembali normal.Â
Kantor, sekolah, dan rutinitas harian menyambut kita tanpa kompromi, seolah mengingatkan bahwa waktu tak pernah mau menunggu.
Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang seharusnya tidak ikut pergi bersama Ramadan nilai-nilai yang telah kita pelajari selama sebulan penuh.Â
Mulai dari keteguhan hati dalam menahan diri, kedisiplinan dalam beribadah, hingga empati yang tumbuh saat melihat orang lain yang kurang beruntung. Ramadan bukan hanya tentang ritual, tapi juga tentang pembentukan karakter.
Kini, saat kita kembali ke kehidupan biasa, pertanyaannya sederhana namun penting: mampukah kita membawa pulang nilai-nilai itu dan menjadikannya bagian dari keseharian?Â
Bulan suci yang kita jalani selama sebulan penuh bukan hanya tentang menahan lapar dan haus. Ia adalah sekolah kehidupan.Â
Setiap hari selama Ramadan, kita ditempa oleh waktu belajar bangun sebelum fajar, menahan diri dari amarah, menjaga lisan, dan menguatkan empati pada sesama.Â
Ibarat seorang murid, kita diberikan kesempatan untuk melatih kejujuran, kedisiplinan, dan kepedulian sosial secara langsung, bukan sekadar teori.
Kita juga diajak mengenali diri sendiri lebih dalam: seberapa kuat kita bisa menahan godaan, seberapa tulus kita berbagi, dan seberapa ikhlas kita dalam berbuat baik tanpa mengharapkan balasan.Â