Ramadan memaksa kita berhenti sejenak dari kesibukan duniawi untuk kembali pada esensi: hubungan kita dengan Tuhan dan sesama manusia.
Ia mengingatkan kita bahwa di balik ambisi dan pencapaian hidup, ada hal yang lebih penting kepekaan hati, kejujuran dalam berbuat, dan kepedulian terhadap sekitar.Â
Ramadan memurnikan niat, membersihkan jiwa, dan memperhalus laku. Ia menempatkan kita pada posisi paling manusiawi: bahwa kita lemah tanpa pertolongan-Nya, dan tak berarti jika hidup hanya untuk diri sendiri.
Saat dunia kembali bising dan cepat, Ramadan meninggalkan kita dengan pesan agar sesekali memperlambat langkah, memperbanyak syukur, dan kembali menyapa dengan hati.
Dalam hiruk-pikuk kehidupan pasca-Lebaran, kita kembali disibukkan dengan target dan deadline. Alarm pagi tak lagi membangunkan kita untuk sahur, tapi untuk mengejar kereta atau menghadapi rapat pagi.Â
Grup-grup keluarga yang sempat hangat dengan ucapan maaf dan doa, kini kembali sunyi digantikan oleh notifikasi kerja dan rutinitas digital lainnya.
Di tengah kesibukan itu, nilai-nilai Ramadan perlahan mulai mengabur. Salat yang dulu dijaga waktunya, mulai ditunda.Â
Telinga yang semula dijaga dari gosip, kini mulai kembali mendengar dan bahkan ikut menyebarkan. Hati yang sebelumnya lembut dan terbuka untuk berbagi, mendadak sibuk dengan urusan pribadi.
Lisan yang dulunya penuh doa dan dzikir, kini kembali mudah melukai tanpa sadar. Jiwa yang sempat tenang karena kedekatan dengan Tuhan, mulai kembali gelisah diburu ambisi dan keinginan duniawi.Â
Seolah semua yang telah dibangun selama Ramadan runtuh perlahan karena kita membiarkannya begitu saja. Padahal, Ramadan bukan sekadar jeda, tapi pengingat.Â
Ia mengajarkan kita untuk hidup lebih sadar sadar atas setiap kata yang keluar, setiap sikap yang diambil, dan setiap niat yang tersembunyi dalam hati.