Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Benarkah ChatGPT Membuat Kita Bodoh?

11 September 2025   19:35 Diperbarui: 11 September 2025   19:35 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ChatGPT dapat melemahkan atau memperkuat kapasitas berpikir kritis, tergantung bagaimana cara menggunakannya | Ilustrasi oleh Airam Dato-on via Pexels

Sejak dirilis oleh OpenAI pada akhir 2022, ChatGPT telah memicu perdebatan sengit tentang apakah platform ini akan membuat kita bodoh, lebih tepatnya semakin bodoh. Saking mengkhawatirkannya, sejumlah sekolah dan universitas terkemuka di dunia bahkan melarang keras penggunaan ChatGPT dalam proses belajar mengajar. Artinya, mereka rela melewatkan beragam manfaat potensialnya demi menghindari risiko-risikonya sama sekali.

Namun, menurut studi terbaru yang dilakukan para peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), kekhawatiran tersebut mungkin agak berlebihan. Penelitian yang dipimpin oleh Dr. Nataliya Kosmyna ini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) berbasis large language models (LLM) seperti ChatGPT tidak membuat kita bodoh. Setidaknya, "bodoh" bukanlah kata yang tepat.

Alih-alih, mereka menemukan bahwa penggunaan ChatGPT dengan cara tertentu berisiko melemahkan kemampuan berpikir kritis.

Eksperimen mereka sederhana tetapi signifikan. Para peneliti merekrut 54 mahasiswa dan meminta mereka menulis esai singkat bergaya SAT, sebuah tes standar untuk penerimaan mahasiswa baru di Amerika Serikat. Para peserta penelitian kemudian dibagi ke dalam tiga kelompok, masing-masing 18 orang. Kelompok pertama harus menulis esai hanya dengan mengandalkan otak mereka sendiri, kelompok kedua menggunakan mesin pencari Google, dan kelompok ketiga diperbolehkan menggunakan ChatGPT sesuka hati.

Dalam tiga sesi utama, mereka diminta menulis esai dengan pertanyaan-pertanyaan yang relatif simpel tetapi merangsang, mulai dari pertanyaan tentang kebahagiaan ("Apa yang membuat orang benar-benar bahagia?") hingga pertanyaan tentang filantropi ("Apakah orang-orang kaya memiliki kewajiban moral untuk membantu mereka yang miskin?"). Setiap peserta memakai headset yang merekam aktivitas otak mereka saat menulis esai.

Temuan menunjukkan bahwa peserta yang menggunakan ChatGPT menghasilkan esai yang lebih kaya akan rujukan faktual; sekitar 60 persen lebih banyak nama, tempat, dan tanggal dibandingkan esai peserta yang hanya mengandalkan otak mereka. Sampai sini tidak ada masalah serius, hingga esai mereka dievaluasi secara keseluruhan. Ternyata, meskipun kekurangan referensi, peserta yang hanya mengandalkan otaknya jauh lebih kaya, bervariasi, dan orisinal dibandingkan peserta yang memakai ChatGPT. 

Untuk pertanyaan tentang filantropi, misalnya, hampir semua esai yang dibantu AI berargumen bahwa orang kaya mengemban kewajiban moral untuk membantu yang kurang beruntung. Begitu pula untuk pertanyaan tentang apa yang membuat orang benar-benar bahagia, jawaban para peserta yang menggunakan LLM terpusat pada kesuksesan karier pribadi. Dua profesor bahasa Inggris yang diminta untuk menilai esai peserta bahkan kompak menggambarkan karya pengguna ChatGPT sebagai "soulless", tak berjiwa.

Kemiripan jawaban para pengguna ChatGPT tampaknya mengindikasikan bahwa sebagian besar dari mereka membiarkan LLM berpikir untuk mereka. Alih-alih menulis esai sendiri dan kemudian memanfaatkan ChatGPT sebagai alat bantu, mereka justru menjadikan diri mereka sendiri sebagai pembantu yang menyempurnakan esai buatan ChatGPT. Pada sesi ketiga, Dr. Kosmyna bahkan mendapati kebanyakan pengguna LLM menyerahkan tugas menulis esai sepenuhnya kepada ChatGPT.

Dari segi kognitif, data electroencephalography (EEG) menunjukkan bahwa peserta yang menulis tanpa bantuan menampilkan tingkat konektivitas saraf tertinggi, terutama di area otak yang terkait dengan kreativitas, memori kerja, dan pemrosesan semantik. Pengguna mesin pencari Google menunjukkan tingkat sedang, sementara pengguna ChatGPT menjadi kelompok dengan tingkat konektivitas saraf paling rendah di seluruh area otak.

Perlu dicatat, peningkatan konektivitas otak belum tentu baik atau buruk. Itu bisa menjadi tanda bahwa seseorang mendalami suatu tugas, tetapi bisa juga mengindikasikan inefisiensi dalam berpikir atau kewalahan secara kognitif. Di luar itu, konektivitas otak yang rendah bisa menandakan seseorang sudah sangat terbiasa dengan aktivitas atau tugas yang dikerjakannya (autopilot), sehingga tidak serta-merta buruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun