Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Benarkah ChatGPT Membuat Kita Bodoh?

11 September 2025   19:35 Diperbarui: 11 September 2025   19:35 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ChatGPT dapat melemahkan atau memperkuat kapasitas berpikir kritis, tergantung bagaimana cara menggunakannya | Ilustrasi oleh Airam Dato-on via Pexels

Untuk memecahkan ketidakpastian tersebut, para peneliti pun menyelenggarakan satu sesi tambahan dengan meminta para peserta (kali ini hanya melibatkan 18 peserta) mengingat dan mengutip tulisan mereka sendiri. Hasilnya, lebih dari 80 persen pengguna ChatGPT tidak bisa mengingat apa yang telah mereka tulis. Sebaliknya, peserta yang hanya mengandalkan otaknya tidak hanya fasih dalam mengutip esai mereka sendiri, tetapi juga mempunyai rasa kepemilikan yang kuat atas tulisan tersebut.

Apa yang bisa dipelajari?

Pertama dan terutama, studi tersebut tidak bisa disimpulkan sebagai bukti bahwa ChatGPT menjadikan penggunanya bodoh. Kekhawatiran utama yang ditunjukkan oleh Dr. Kosmyna dan koleganya adalah bahwa ChatGPT memberi penggunanya semacam "ilusi berpikir". Seolah meminta ChatGPT untuk membuatkan mereka esai, ditambah poles sana-sini yang mereka lakukan, berarti mereka telah berpikir keras. Seolah ChatGPT telah membantu mereka berpikir, ketika sebenarnya otak merekalah yang membantu ChatGPT "berpikir".

ChatGPT, dengan demikian, menggoda orang untuk menjadi unggul tanpa usaha. Dalam konteks penelitian tersebut, para pengguna LLM tidak lebih bodoh daripada peserta lainnya. Mereka hanya melepaskan diri dari pergulatan mental dan kognitif. Jika ChatGPT mampu menghasilkan esai "rapi" dalam hitungan detik, mengapa harus repot-repot menulisnya sendiri? Buat apa memutar otak untuk menciptakan sesuatu yang bisa diselesaikan oleh AI secara instan?

Padahal, pergulatan itulah sumber pembelajaran sesungguhnya. Di situlah ide-ide berakar, betapa pun prosesnya sangat frustratif, melelahkan, dan bahkan membosankan. Gagasan jarang muncul dalam bentuk yang sudah utuh, rapi, dan siap untuk dituliskan. Ia lahir dari gesekan ketidakpastian: pencarian terputus-putus akan kata yang tepat, ketidaknyamanan menatap kalimat yang setengah matang, proses lambat menyusun ulang pikiran hingga sesuatu terasa pas.

ChatGPT memotong proses tersebut, yang pada gilirannya membuat otak cepat layu.

Untungnya, itu hanya mewakili satu skenario saja. Dr. Kosmyna dan koleganya menegaskan bahwa kita tidak harus menolak ChatGPT sepenuhnya. Justru, jika digunakan dengan tepat, LLM tersebut dapat memperdalam keterlibatan kita alih-alih melemahkannya, dan meningkatkan pemahaman alih-alih membatasinya.

Pada sesi keempat eksperimen, peserta yang awalnya menulis tanpa bantuan diminta untuk merevisi esainya dengan ChatGPT; sebaliknya, peserta yang tadinya menggunakan ChatGPT kini diminta merevisi esainya tanpa bantuan apa pun kecuali otak mereka sendiri. Ternyata, peserta yang sekarang dibantu ChatGPT menunjukkan lonjakan konektivitas otak di semua pita frekuensi EEG, berbanding terbalik dengan peserta yang sejak awal menggunakan LLM.

Artinya apa? Yang penting bukan apakah kita menggunakan AI, melainkan bagaimana cara kita menggunakannya. Jika kita langsung menyerahkan setiap tugas sulit pada ChatGPT, yang berarti otak kita hanya mengurasi dan bukan menghasilkan gagasan, kapasitas berpikir kritis kita berisiko melemah. Sebaliknya, ketika ChatGPT digunakan sebagai alat bantu berpikir dan bukan menggantikan proses berpikir itu sendiri, mesin ini dapat bermanfaat besar.

Saya ingat sekitar tiga bulan lalu, saya hampir menyerah menyelesaikan sebuah artikel jurnal tentang suburnya dinasti politik di Asia Tenggara. Berminggu-minggu, pikiran saya tertarik pada beberapa kesamaan pola ketahanan dan pertumbuhan dinasti politik di antara negara-negara ASEAN, tetapi saya tidak bisa menjelaskannya dengan memadai. Adakah teori yang bisa menjelaskannya? Apakah saya melewatkannya? Atau memang pengamatan saya dapat menghasilkan teori baru?

Lalu, saya coba berdiskusi dengan ChatGPT.

Kami saling melempar pertanyaan dan berspekulasi tentang solusi. ChatGPT, seperti yang Anda tahu, tetap optimis, tak kenal lelah, dan yang terpenting, tidak gentar menghadapi kegagalan. Beberapa jawaban tampak menjanjikan, dan yang lainnya buntu. Kemudian pada satu titik, ia menyebutkan sebuah teori yang belum pernah saya dengar. Saya tertarik dan memintanya untuk menjelaskannya. Setelah tahu dasarnya, saya memulai riset mendalam tentang teori tersebut secara mandiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun