Artikel saya kini sedang dalam proses tinjauan rekan sejawat di jurnal terindeks Scopus Q2. Dan ya, saya benar-benar menggunakan teori yang disarankan ChatGPT.
Masa depan berpikir kritis di era AI
Kekhawatiran atas ChatGPT bukanlah hal baru. Sejarah mencatat bahwa setiap generasi senantiasa menyambut inovasi teknologi terbaru dengan kepanikan. Dalam Phaedrus, Plato menceritakan betapa Socrates mengutuk penemuan radikal pada masanya, yaitu tulisan. Bagi Socrates, metode menulis akan merusak ingatan dan melemahkan kebijaksanaan; itu membuat orang, pada akhirnya, malas berpikir.
Pada zaman yang berbeda, otoritas gereja di Eropa sempat melarang mesin cetak dengan kekhawatiran serupa. Pada 1970-an, ketika kalkulator mulai memasuki ruang kelas, banyak orang tua cemas anak-anak mereka akan lupa cara berhitung. Sebelum ChatGPT, publik berdebat tentang apakah Google membuat kita bodoh. Dan di sinilah kita hari ini melihat setiap teknologi tersebut bertahan dan secara rutin memanfaatkannya.
Ya, semua itu memiliki risiko melemahkan kapasitas berpikir kritis kita, tetapi tidak harus demikian. Kita bisa belajar dari penemuan kalkulator. Saat itu, alih-alih membuatnya lebih enteng, alat hitung tersebut justru membuat ujian di sekolah menjadi lebih sulit. Berkat kalkulator, anak-anak tidak perlu lagi menghabiskan banyak waktu untuk berhitung lewat tangan atau kertas; mereka kini diharuskan memusatkan energi kognitif mereka pada soal-soal yang lebih kompleks daripada sekadar pengalian sederhana.
Pola itu seharusnya mengingatkan kita bahwa AI tidak secara otomatis baik atau buruk bagi otak kita. Yang penting adalah bagaimana kita menggunakannya, dan sama pentingnya, bagaimana kita menyesuaikan standar kita tentang apa arti berpikir. Seperti halnya kehadiran kalkulator menuntut siswa menyelesaikan soal-soal yang lebih rumit, ChatGPT juga seharusnya membebaskan siswa dari tugas-tugas yang monoton dan membosankan; sebagai gantinya, mereka dapat berhadapan dengan tugas yang lebih menuntut dan kompleks.
Saya sadar itu terlalu menyederhanakan; masalah AI jelas lebih ruwet ketimbang kalkulator, terutama karena LLM seperti ChatGPT bisa "berpikir" dan menghasilkan gagasannya sendiri. Namun, fakta bahwa dunia yang kita tinggali sekarang sudah terlanjur terikat pada mesin-mesin seperti itu, kita sebaiknya terus memutar otak dan bertransformasi untuk beradaptasi dan memetik manfaat darinya sebaik mungkin.
Jadi, alih-alih terus berdebat tentang apakah ChatGPT membuat kita bodoh, mungkin sudah waktunya kita berdiskusi tentang bagaimana agar ChatGPT membuat kita lebih pintar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI