Kemiskinan biasanya dipahami sebagai kondisi kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan pokok: makanan, pakaian, dan/atau tempat tinggal yang layak. Pemahaman ini wajar, dan bahaya-bahaya yang tersirat di dalamnya tak bisa dinafikan. Namun, ada jenis kemiskinan lain yang selalu luput dari perhatian, bahkan jarang diketahui keberadaannya. Jenis kemiskinan ini bukan terletak pada kurangnya materi, melainkan pada sesuatu yang tak kasat mata - waktu.
Kemiskinan waktu (time poverty) adalah kondisi ketika kita mengemban terlalu banyak hal untuk dilakukan tetapi tidak cukup waktu untuk mengerjakannya. Itu adalah kondisi ketika 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu terasa terlalu pendek. Itu adalah kondisi ketika kita bangun pagi dengan daftar tugas yang panjang, tetapi hari sudah bergulir menuju malam sebelum separuhnya selesai.
Wujud konkretnya mudah dijumpai.
Itu bisa mengacu pada orang tua yang tidak bisa menghadiri acara sekolah anak mereka akibat shift kerja berakhir terlalu larut. Atau, pekerja lepas yang mengorbankan jam tidurnya untuk memenuhi deadline sebelum fajar. Atau, perawat yang siangnya bersama pasien dan malamnya merawat anak-anak di rumah, tanpa ada waktu tersisa untuk dirinya sendiri. Atau, asisten rumah tangga yang seharian penuh membersihkan rumah orang lain, sementara rumahnya sendiri semrawut.
Secara intuitif, kemiskinan waktu tampak seperti masalah “endemik” para profesional kelas menengah atas, yaitu mereka yang punya gaji besar tetapi terperangkap dalam jam kerja panjang dan tekanan karier. Manajer, dokter, pengacara, dan sejenisnya sering dikatakan mengalami “penyakit gaya hidup”, semacam hasil dari pilihan individu yang sibuk mengejar prestasi: kenaikan pangkat, peningkatan penghasilan, pengembangan skill, dan seterusnya.
Namun, realitanya jauh lebih keras. Penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan waktu yang dialami kalangan berada hanyalah puncak dari gunung es. Itu hampir tidak ada apa-apanya dibandingkan kemiskinan waktu di antara kelompok ekonomi terbawah. Dengan kata lain, sebagian besar mereka yang miskin waktu juga miskin pendapatan, sekaligus mengalami berbagai bentuk deprivasi lain.
Logikanya sebagai berikut.
Semakin miskin orang, semakin sedikit mereka bisa membeli barang dan jasa di pasar. Jika layanan dasar tidak disediakan negara, mereka harus memproduksinya sendiri. Seorang buruh dengan jam kerja panjang berupah rendah, misalnya, sepulang kerja masih harus memasak, mencuci, mengurus anak, atau merawat orang tua, karena tidak mampu membayar orang lain untuk melakukannya.
Peliknya lagi, ia bergantung pada kayu bakar untuk memasak, sesuatu yang jarang dijual di pasar. Oleh karena itu, setiap harinya ia harus berjalan jauh mengumpulkan kayu bakar, pekerjaan melelahkan yang sangat menyita waktu.
Kebutuhan akan air juga sama ruwetnya. Ia, atau anggota keluarganya yang lain, harus mengambil, mengangkut, dan menyimpan air untuk kebutuhan sehari-hari. Jika sumber air jauh, itu bisa menelan sebagian besar hari.